Thursday, November 30, 2017

Dewan Perwakilan Rakyat ‘masih’ Merepresentasikan Rakyat (?)


Dewan Perwakilan Rakyat ‘masih’ Merepresentasikan Rakyat (?)

Manakah yang lebih determinan antara politik dan hukum? Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Prof. Mahfud MD melalui disertasi beliau yang berjudul Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia yang pada akhirnya melahirkan sebuah jawaban bahwasannya politik determinan atas hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Untuk konteks Indonesia, sejauh ini teori ini masih relevan dan tercermin dari perkembangan situasi politik dan perkembangan hukum di Indonesia. dalam teorinya, Prof. Mahfud berpendapat bahwa secara kausalitas Konfigurasi politik yang demokratis melahirkan hukum yang responsif.

Indonesia sendiri sejak kemerdekaannya dapat dikatakan menganut system pemerintahan yang bersifat demokratis. Sifat Demokratis merupakan output dari system demokrasi yang dimaknai Abraham Lincoln sebagai system pemerintahan yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi, sepanjang dilaksanakan dari rakyat oleh rakyat, dan untukrakyat maka system tersebut pada dasarnya dapat dikatakan bersifat demokratis. Kembali pada konteks Indonesia, system pemerintahan yang demokratis bahkan secara eksplisit telah termaktub dalam Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dimana sila tersebut secara sederhana dapat kita maknai sebagai pemerintahan dari rakyat dengan model representasi/perwakilan, oleh rakyat melalui pemilihan umum, dan dilaksanakan untuk rakyat.

72 Tahun Indonesia Merdeka, keraguan demi keraguan muncul terhadap efektifitas system yang selama ini sudah kita anggap demokratis tersebut. Keraguan tersebut bukan untuk mempertanyakan apakah benar system tersebut merupakan system yang terbaik untuk diterapkan Indonesia, tapi lebih kepada kualitas parlemen selaku representasi masyarakat yang semakin hari semakin menunjukkan degradasi, baik dari segi moral maupun keilmuan. Bukan tanpa sebab, keraguan-keraguan tersebut muncul, tercatat asumsi tersebut didukung oleh fakta bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Negara yang paling sering terjerat kasus korupsi, setidaknya menurut survey yang diselenggarakan oleh Global Corruption Barometer (GCB). Terbaru, tentu masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia berita mengenai korupsi dana E-KTP yang melibatkan ketua DPR Setya Novanto. (sampai tulisan ini ditulis, kasus tersebut masih diusut KPK dengan Setya Novanto sebagai tersangka).

  Banyaknya kasus korupsi yang mayoritas melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut sedikit demi sedikit menyayat hati masyarakat Indonesia. Perbuatan tersebut merugikan Negara secara finansial,  terlebih menciderai kehormatan Bangsa kita di mata dunia karena parlemen sebagai representasi rakyat lah yang banyak terlibat didalamnya. Hal tersebut masih dihiasi dengan upaya pelemahan KPK sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas penuh dalam menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia. Sistem yang dianut oleh Indonesia sudah dapat dikatakan ‘sangat’ demokratis, namun sudahkah system yang demokratis tersebut diaktualisasikan untuk kesejahteraan rakyat? Karena sejatinya Parlemen merupakan representasi rakyat, yang mengakomodir kehendak rakyat dipundaknya, dan merepresentasikan wajah bangsa di mata dunia.