Dewan Perwakilan Rakyat ‘masih’
Merepresentasikan Rakyat (?)
Manakah
yang lebih determinan antara politik dan hukum? Pertanyaan tersebut coba
dijawab oleh Prof. Mahfud MD melalui disertasi beliau yang berjudul Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang
Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia yang
pada akhirnya melahirkan sebuah jawaban bahwasannya politik determinan atas
hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Untuk konteks Indonesia, sejauh
ini teori ini masih relevan dan tercermin dari perkembangan situasi politik dan
perkembangan hukum di Indonesia. dalam teorinya, Prof. Mahfud berpendapat bahwa
secara kausalitas Konfigurasi politik yang demokratis melahirkan hukum yang responsif.
Indonesia
sendiri sejak kemerdekaannya dapat dikatakan menganut system pemerintahan yang
bersifat demokratis. Sifat Demokratis merupakan output dari system demokrasi yang dimaknai Abraham Lincoln sebagai system
pemerintahan yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jadi,
sepanjang dilaksanakan dari rakyat oleh rakyat, dan untukrakyat maka system tersebut
pada dasarnya dapat dikatakan bersifat demokratis. Kembali pada konteks
Indonesia, system pemerintahan yang demokratis bahkan secara eksplisit telah
termaktub dalam Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dimana sila tersebut
secara sederhana dapat kita maknai sebagai pemerintahan dari rakyat dengan
model representasi/perwakilan, oleh rakyat melalui pemilihan umum, dan
dilaksanakan untuk rakyat.
72
Tahun Indonesia Merdeka, keraguan demi keraguan muncul terhadap efektifitas system
yang selama ini sudah kita anggap demokratis tersebut. Keraguan tersebut bukan
untuk mempertanyakan apakah benar system tersebut merupakan system yang terbaik
untuk diterapkan Indonesia, tapi lebih kepada kualitas parlemen selaku
representasi masyarakat yang semakin hari semakin menunjukkan degradasi, baik
dari segi moral maupun keilmuan. Bukan tanpa sebab, keraguan-keraguan tersebut
muncul, tercatat asumsi tersebut didukung oleh fakta bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat merupakan Lembaga Negara yang paling sering terjerat kasus korupsi,
setidaknya menurut survey yang diselenggarakan oleh Global Corruption Barometer
(GCB). Terbaru, tentu masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia berita
mengenai korupsi dana E-KTP yang melibatkan ketua DPR Setya Novanto. (sampai
tulisan ini ditulis, kasus tersebut masih diusut KPK dengan Setya Novanto
sebagai tersangka).
Banyaknya
kasus korupsi yang mayoritas melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut
sedikit demi sedikit menyayat hati masyarakat Indonesia. Perbuatan tersebut
merugikan Negara secara finansial, terlebih
menciderai kehormatan Bangsa kita di mata dunia karena parlemen sebagai
representasi rakyat lah yang banyak terlibat didalamnya. Hal tersebut masih
dihiasi dengan upaya pelemahan KPK sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai
otoritas penuh dalam menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia. Sistem yang
dianut oleh Indonesia sudah dapat dikatakan ‘sangat’ demokratis, namun sudahkah
system yang demokratis tersebut diaktualisasikan untuk kesejahteraan rakyat? Karena
sejatinya Parlemen merupakan representasi rakyat, yang mengakomodir kehendak
rakyat dipundaknya, dan merepresentasikan wajah bangsa di mata dunia.