Thursday, March 24, 2016

Aliran Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum



ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA SOSIOLOGI HUKUM.

Filsafat hukum sebagai bagian dari disiplin hukum, telah memiliki tradisi yang lama telah dikembangkan oleh ahli-ahli pemikir yang tersohor. Filsafat hukum tersebut terutama untuk menghayati arti dan hakikat hukum, telah banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berguna. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa hasil-hasil para ahli pemikir tadi tidak semuannya dapat dijadikan pegangan. Hal ini terutama disebabkan karena timbulnya usaha-usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah hukum itu, apakah keadilan, apakah hukum yang tidak baik dapat dinamakan hukum, dan seterusnya.

A. HASIL PEMIKIRAN PARA AHLI FILSAFAT HUKUM DAN ILMU HUKUM

Ada berbagai faktor yang menyebabkan para ahli hukum kemudian menerjunkan diri ke dalam bidang filsafat hukum. Pertama-tama dapat dikemukakan sebab, yaitu timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan kedailan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku. Lagi pula timbul pendapat-pendapat yang berisikan ketidakpuasan hukum yang berlaku, oleh karena hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat yang diaturnya. Ketidakpuasan tersebut dapat dikembalikan dapat beberapa faktor, antara lain ketegangan-ketegangan yang timbul antara kepercayaan (khususnya agama) dan hukum yang sedang berlaku.

Di sampingkan gejala tersebut, timbul pula ketegangan anatar hukum yang berlaku dengan filsafat, yang disebabkan karena perbedaan antara dasar-dasar hukum yang berlaku, dengan pemikiran orrang dalam bidang filsafat. Lagi pula perlu dicatat, bahwa setiap pemikiran sistematis setiap disiplin hukum senantiasa berhubungan dengan filsafat politik. Dengan demikian, maka filsafat hukum terutama bertujuan untuk menjelasakan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil pemikiran para ahli filsafat hukum tersebut terhimpun di dalam berbagai mazhab atau aliran, antara lain sebagai berikut.

1. Mazhab Formalistis

Beberapa ahli filsafat hukum menekankan, baetapa pentingnya hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral (yaitu etika dalam arti sempit) yang berlaku umum. Salah satu cabang dari aliran tersebut adalah mazhab formalistis yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Salah seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah ahli filsafat hukum dari Inggris John Austin (1790-1859) Austin terkenal dengan pahamnya yang menyatakan, bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, hukum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat manusia dapat dibedakan dalam : Hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Tapi kelemahan dari ajaran analytical jurisprudence ini antara lain bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya tertutup. Akan tetapi teori ini menentukan bagaimana suatu keputusan pengadilan pbekerja dan dengan memperhitungkan, bagaimana para hakim mungkin terikat oleh analisis-analisis formal mengenai konsep-konsep dan masalah hukum.

2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan

Mazhab ini, mempunyai pendirian yang sangat berlawanan sengan mazhab formalistis. Mazhab ini justru menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul. Seorang tokoh terkemuka dari mazhab ini dalah Friedrich Karl Von Savigny (1779-1861) yang dianggap sebagai pemuka ilmu sejarah hukum. Von Savigny berpendapat, bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volksgeits). Dia berpendapat, bahwa semua hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan, bukan berasal dari pembentukan undang-undang. Kelemahan dari teori Von Savigny terletak pada konsepnya mengenai kesadaran hukum yang sangat abstrak. Tetapi teori ini diakui oleh tekoh-tokoh teori sosiologi seperti Emile Durkheim dan Max Weber yang menyadari betapa pentingnya aspek-aspek kebudayaan dan sejarah untuk memahami gejala hukum dalam masyarakat.

3. Aliran Utilitarianism

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang ahli filsafat hukum yang sangat menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukum. Bentham menggunakan prinsip dari aliran utilitarianism, bahwa manusia berindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Ia banyak mengembangkan pikirannya untuk bidang pidana dan hukuman terhadap tindak pidana. Bentham pun mengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.

Rudolph von lhering (1818-1892) yang ajarannya disebut social utilitarianism. Dia menganggap hukum sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individe, agar tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Bagi Ihering, hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial.

4. Aliran Sociological Jurisprudence

Eugen Ehrlich (Austira, 1826-1922) dianggap sebagai sociological jurisprudence. Ajaran Ehlirch berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law). Ia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebgai pola-pola kebudayaan (culture patterns).

Ehrlich mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum terletak di masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara. Teori Ehrlich juga mempunyai kelemahan, yaitu adalah menentukan ukuran-ukuran apakan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu kaidah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup (dan dianggap adil).

Roscoe Pound (Merika Serikat, 1870-1964) berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound menganjurkan untuk memepelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dapat dibedakannya dengan hukum tertulis (law in the books). Ajarannya tersebut diperluas sehingga mencakup maslah keputusan-keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya yang nyata.

Pound mengakui bahwa hukum hanyalah merupakan salah satu alat pengendalian sosial (sosial control), bahkan selalu menghadapi tantangan dari pertentangan kepentignan-kepentingan. Pound juga menekankan betapa pentingnya penelitian yang berasal dari ilmu-ilmu sosial di dalam proses pengendalian.

5. Aliran Realisme Hukum

Aliran Realisme hukum diprakasrsai oleh Karl Llewellyn (1893-1962), Jerome Frank (1889-1957), dan Justice Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ketiga tiganya orang Amerika. Mereka terkenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim tidak hanya menemukan hukum, akan tetapi membentuk hukum. Suatu keputusan pengadilan biasanya dibuat atas dasar konsepsi konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalkan di dalam suatu pendapat tertulis.

Ahli ahli pemikir dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keadilan, walaupun mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil. Pokok pokok pikiran dari aliran ini banyak dikemukakan oleh justice Holmes dalam hasil karyanya yang berjudul The Path Of The Law. Didalam buku tersebut, Holmes antara lain menyatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila sesorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan pengadilan.

Karl Llewellyn mengembangkan teori tentang hubungan antara peraturan peraturan hukum dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Didalam teorinya itu, Llewellyn menekankan pada fungsi hukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta dari rekonstruksi dari kejadian kejadian yang telah lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan.

B. HASIL HASIL PEMIKIRAN PARA SOSIOLOG



1. Emile Durkheim (1858-1917)

Emile Durkheim dari perancis adalah salah satu seorang tokoh penting yang mengembangkan sosiologi dengan ajaran ajaran yang klasik. Menurutnya Hukum ialah sebagai suatu kaidah yang bersanksi, yang berat ringanya ditentukan berdasarkan sifat pelanggaran, anggapan serta keyakinan tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi sanksi tersebut dalam masyarakat.

Didalam masyarakat ada kaidah hukum yang sanksi sanksinya mendatangkan pederitaan bagi orang yang melanggar kaidah kaidah hukum yang bersangkutan, dan bertujuan untuk menjerakan pelanggar sekaligus menjadi pelajaran bagi individu lainnya agar tidak melakukan perbuatan yang sama, kaidah hukum semacam ini disebut kaidah yang Represif.

Selain kaidah hukum memuat sanksi yang dapat mendatangkan penderitaan bagi pelanggar, ada juga kaidah hukum yang mempunyai sanksi tetapi tidak mendatangkan penderitaan bagi pelanggar, ,melainkan bertujuan untuk mengembalikan kaidah pada situasi yang semula (pemulihan keadaan), kaidah kaidah hukum tersebut adalah kaidah kaidah hukum Restitutif.

Hubungan solidaritas sosial dengan hukum yang bersifat represif terletak pada tingkah laku yang menghasilkan kejahatan. Durkheim menerangkan bahwa setiap hukum yang tertulis mempunyai tujuan berganda yaitu untuk menetapkan kewajiban kewajiban tertentu dan untuk merumuskan sanksi sanksinya.

Macam solidaritas positif yang dapat ditandai oleh ciri ciri sebagai berikut:

· Solidaritas pertama, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat. Solidaritas kedua, seorang warga masyarakat tergantung kepada masyarakat/ individu yang bersangkutan.

· Solidaritas pertama, masyarakat merupakan kesatuan kolektif dimana terdapat kepercayaan dan perasaan yang sama. Solidaritas kedua, masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bermacam macam fungsi yang merupakan hubungan hubungan yang tetap, sebetulnya keduanya merupakan gabungan, akan tetapi dilihat dari sudut sudut yang berbeda.

· Dari kedua perbedaan tersebut timbullah perbedaan lain yang dapat dipakai untuk menentukan karakteristik dari nama dua macam solidaritas diatas.

Solidaritas dalam masyarakat dapat terjadi apabila kuatnya cita cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif yang disebabkan karena keutuhan masyarakat tersebut terjamin oleh hubungan antara manusia yang erat, serta adanya tujuan bersama, solidaritas ini dinamakan Mechanical Solidarity (solidaritas mekanis). Biasanya terdapat pada masyarakat yang sederhana dan homogen.

Solidaritas yang kedua dinamakan oleh Durkheim sebagai Organic Solidarity (Solidaritas organis) yang terdapat pada masyarakat yang lebih modern dan lebih kompleks, yaitu masyarakat yang ditandai dengan pembagian kerja yang kompleks.

Pendapatnya tentang hukum yang bersifat represif akan berguna untuk memahami arti kajahatan dan efektivitas hukuman, dan dalam uraiannya juga menyatakan bahwa hukum pada umumnya bersifat menjatuhkan hukuman bagi pelanggar-pelanggarnya.

Hukum dipergunakan sebagai suatu alat diagnose untuk menemukan syarat syarat struktural bagi perkembangan solidaritas masyarakat. Hukum dilihatnya sebagai dependent variable, yaitu suatu unsur yang tergantung pada struktural sosial masyarakat, akan tetapi hukum juga dilihatnya sebagai ala untuk mempertahankan keutuhan masyarakat maupun menentukan adanya perbedaan perbedaan dalam masyarakat.

2. Max Weber (1864-1920)

Ajaran ajaran Max Weber (seorang Jerman yang mempunyai latar belakang pendidikan di bidang hukum) yang memberi saham dalam perkembangan ilmu sosiologi sangat banyak dan bersifat klasik. Weber mempunyai tujuan mengemukakan tahap tahap rasionalisasi peradaban barat beserta faktor faktor yang mempengaruhinya.

Sejalan dengan tujuan tersebut dia mempelajari pengaruh politik, agama, dan ekonomi terhadap perkembangan hukum, serta pengaruh dari para teoritikus hukum, pratikus hukum maupun apa yang dinamakan para honoratioren[1]. Didalam menelaah objeknya Max Weber menggunakan metode logical formalism (formalism logis) yang katanya, metode yang dikembangkan oleh perdaban barat dan tak dapat ditemukan dalam perdaban lain.

Max Weber berpendapat bahwa suatu alat pemaksa menentukan bagi adanya hukum. Alat pemaksa tersebut tidak perlu berbentuk badan peradilan sebagaimana yang dikenal di dalam masyarakat yang modern dan kompleks. Alat tersebut dapat berwujud suatu keluarga atau mungkin clan. Konvensi, sebagaimana dijelaskan juga meliputi kewajiban kewajiban tanpa suatu alat pemaksa. Konvensi tersebut harus dibedakan dari kebiasaan (usage) dan adat istiadat (Custom).

Selanjutnya, Max Weber mengemukakan bahwa pembedaan antara hukum publik dan hukum perdata tidak bermanfaat bagi suatu analisa sosiologis walaupun metodenya dapat membantu para sosiolog (dalam bidang tatahukum pembedaan ini juga semakin tidak relevan). Dan pembedaan lain yaitu antara hukum positif dengan hukum alam juga dianggap tidak relevan bagi suatu analisa sosiologis karena dilihat dari definisi sosiologi sebagai suatu ilmu yang menelaah tentang fakta sosial, maka perhatianya hanya terpusat pada hukum positif.

Pembedaan hukum yang dianggap berhubungan erat dengan dasar struktural sosiologi hukum Max Weber yaitu hukum objektif dan hukum subjektif. Dengan hukum objektif sebagai keseluruhan kaidah kaidah yang dapat diterapkan secara umum terhadap semua warga masyarakat, sepanjang mereka tunduk pada suatu sistem hukum umum. Hukum subjektif mencakup kemungkinan kemungkinan bagi seorang warga masyarakat untuk meminta bantuan kepada alat alat pemakasa agar kepentingan kepentingan material dan spritualnya dapat dilindungi.

Perbedaan antara hukum formal dengan hukum material kelihatannya lebih penting, karena secara langsung merupakan syarat syarat bagi proses rasionalisasi hukum. Dengan hukum formal sebagai keseluruhan sistem teori hukum yang aturan aturannya didasarkan hanya pada logika hukum, tanpa mepertimbangkan lain lain unsur diluar hukum. Sebaliknya, hukum material memperhatikan unsur unsur nonyuridis seperti nilai nilai politis, etis, ekonomis, atau agama.

Selanjutnya, didalam teori Max Weber tentang hukum dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yaitu masing masing sebagai berikut:

a. Hukum irasional dan material, yaitu dimana pembentuk undang undang dan hakim mendasarkan keputusannya semata semata pada nilai nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidah.

b. Hukum irasional dan formal, yaitu dimana pembentuk undang undang dan hakim berpedomana pada kaidah kaidah diluar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan.

c. Hukum rasional dan material, dimana keputusan keputusan para pembentuk undang undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan kebijakaan penguasa atau ideology

d. Hukum rasional dan formal, yaitu dimana hukum dibentuk semata semata atas dasar konsep konsep abstrak dari ilmu hukum.

Dengan demikian, hukum formal cenderung untuk menyusun sistematika kaidah kaidah hukum, sedangkan hukum material lebih bersifat empiris.



3. HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN SOSIOLOGI HUKUM

Pada hakikatnya sosiologi hukum adalah ilmu yang masih baru bagi Indonesia , namun di dalam karya- karya para sarjana hukum Indonesia seringkali terselip konsep- konsep Sosiologi Hukum walaupun tidak dinyatakan dengan tegas. Mungkin hal itu bukan merupakan hasil pemikiranyang secara langsung ikut membentuk sosiologi hukum, namun dapatlah dikatakan bahwa untuk perkembangan ilmu pengetahuan (sosiologi) hasil karya tersebut tak dapat diabakan begitu saja dan bahkan harus dianalisis secara seksama. Salah satunya adalah ajaran- ajaran Soepomo yang banyak mengandung aspek- aspek sosiologi hukum terutama terhimpun di dalam buku Bab- bab tentang Hukum Adat yang terbit beberapa saat setelah beliau wafat. Dari seluruh isi buku tersebut hanya akan diuraikan pendapat- pendapat Soepomo tentang Sistem Hukum Adat, peradilannya, tata susunan masyarakat Indonesia dan tentang Hukum Adat Waris. Hal ini disebabkan karena justru dalam bab- bab tersebut diketemukan aspek- asek sosiologi hukum yg walaupun tidak semuanya berasal dari Soepomo (tetap dari tokoh- tokoh Hukum Adat seperti C Van Vollenhoven, B Ter Haar Bzn dll), tetapi mengintroduksikan suatu tinjauan yang relatif baru terhadap penelitian hukum adat di Indonesia.

Tentang Sistem Hukum Adat, Soepomo menyatakan bahwa sistem tersebut didasarkan pada suatu kebutuhan yang berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Untuk menyelami sisten tersebut, maka seseorang harus menyelami dasar- dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu harus telitisusunan persukutuan- persekutuan hukum di lapangan rakyat.

Menurut Soepomo berlakunya suatu peraturan hukum adat adalah setelah adanya putusan (penetapan) petugas hukum. Yang dimaksud dengan putusan penetapan itu adalah perbuatan atau penolakan perbuatan dari piha petugas hukum dengan tujuan untuk memelihara atau untuk menegakkan hukum.

Untuk mengetahui peraturan- peraturan yang benar- benar berlaku di dalam hidup bersama di daerah yang diselidiki Soepomo menambahkan cara (metode) penyelidikannya. Yaitu denagn mendekati para pejabat desa, orang- orang tua, para cerdik pandai, orang- orang terkemuka di daerah bersangkutan dan sebagainya. Karena keterangan- keterangan semacam itu dapat dilukiskan hukum adat yang hidup di daerah itu.

Perihal fungsi seorang hakim dikatakan dengan tegas oleh Soepomo, bahwa hakim berwenang dan bahkan wajib untuk menelaah apakah suatu peraturan hukum adat yang telah ada mengenai soal yang dihadapi masih selaras atau tidak dengan kenyataan sosial sehubungan dengan perubahan- perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hakim tidak boleh mengadili semata- mata menurut perasaan keadilan pribadi, tetapi dia terikat pada nilai nilai yang secara nyata berlaku dalam masyarakat.

Tentang Hukum Adat Waris, Soepomo menyatakan bahwa Hukum Adat Waris bersendi atas prinsip- prinsip yang timbul dari aliran- aliran pikiran komunal dan konkret dari bangsa Indonesia. Hukum adat waris memuat peraturan- peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang- barang harta benda dan barang- barang yang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia kepada turunannya. Segala barang tersebut merupakan dasar materiil bagi kehidupan keluarga dan akan disediakan pula untuk dasar materiil bagi kehidupan turunan dari keluarga itu.

Ajaran- ajaran Soepomo tersebut banyak sekali mengandungpendekatan- pendekatan sosiologi dan antropologis, walaupun mungkin hanya merupakan alat pembantu saja bagi analisis hukum adat. Pendekatan dari sudut ilmu hukum saja tidak cukup, oleh karena hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat sebagai wadahnya. Untuk dapat mengerti benar- benar hukum adat tersebut sebagai penjelmaan jiwa masyarakat Indonesia, perlu ditelaah terlebih dahgulu struktur berpikir, corak dan sifat masyarakat Indonesia yang secara keseluruhan merupakan mentalitas yang mendasari hukum adat.


















[1] Honoratioren ialah orang yang menduduki posisi kepemimpinan disebabkan memiliki kedudukan ekonomi dan sosial yang terpandang dan menjadi suatu tradisi.

0 comments:

Post a Comment