BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara modern adalah suatu institusi
yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara
modern melahirkan suatu kehidupan dan tatanan dengan struktur yang rigid yang
belum dikenal sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia. Diantaranya adalah
dengan mengadakan strukturalisasi hukum menjadi badan legislatif, eksekutif,
yudikatif.
Sosiologi Hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi yang
termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial dan inilah menurut
Wignjosoebroto suatu kajian, cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat
manusia pada umunya, yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia pada umumnya,
yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia menegakkan dan menyejahterakan
kehidupannya, serta mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kajian pada
cabang-cabang sosiologi yang lain.
Namun sosiologi hukum dan Negara modern mempunyai definisi yang
lebih rinci dari uraian diatas. Selain itu, perlu diketahui pula bagaimana
peranan sebuah kekuatan social dalam masyarakat dalam terbentuknya sebuah
Negara modern, sehingga dapat diketahuilah peranan sosiologi hukum bagi Negara
modern. Selain itu, makalah ini akan mencoba mengkaji bagaimana hubungan antara
sosiologi hukum, Negara modern, dan hukum modern.
B.
Rumusan Masalah
a. Apakah itu
sosiologi hukum?
b. Apakah itu
Negara Modern?
c. Bagaimana
Hubungan Sosiologi Hukum, Negara Modern, dan Hukum Modern?
- Tujuan
Penelitian
- Menjelaskan
pengertian sosiologi hukum, objek studi, dan manfaat mempelajarinya
- Menjelaskan
bagaimana suatu Negara modern terbentuk dan definisi Negara modern itu
sendiri.
- Menjelaskan
mengenai hubungan sosiologi hukum dan Negara modern dengan berkembangnya
hukum modern
- Manfaat
Penelitian
- Mengetahui
pengertian sosiologi hukum, objek pembelajaran, dan manfaat
mempelajarinya
- Mengetahui
bagaimana awal terbentuknya sebuah Negara modern dan bagaimana suatu
Negara disebut modern
- Mengetahui
hubungan sosiolog hukum dan Negara modern terhadap lahir dan
berkembangnya hukum modern
- Metode
Penelitian
- Deskripsi
- Studi pustaka
A.
Apakah itu Sosiologi Hukum
Seorang ahli filsafat dari Perancis yaitu
Auguste Comte (abad ke-19), berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai
tahapan-tahapan yang berdasar kepada logika yang kemudian sampai kepada tahapan
apa yang dikatakan ilmiah. Sehingga Comte menghendaki agar penelitian terhadap
masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte memberi
nama ilmu tentang masyarakat adalah “Sosiologi” 91939) yang mana berasal kata
latin socius berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang mana berarti “kata”
atau “berbicara”. Jadi sosiologi tersebut bermakna “berbicara mengenai
masyarakat”. Comte pun berharap agar sosiologi harus dibentuk berdasarkan
pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.[1]
Dari sudut sejarah sosoiologi hukum untuk
pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Italia bernama Anzilotti pada tahun
1882. Sosiologi hukum ini pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para
ahli baik di bidang filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi.[2] Ilmu ini diarahkan untuk
menjelaskan hukum positif yang berlaku (baik isi maupun bentuknya yang
berubah-ubah menurut waktu dan tempat), dengan bantuan faktor-faktor
pemasyarakatan. Pemikiran sosiologi hukum lebih terfokus pada keberlakuan hukum
secara empirik maupun faktual, hal ini mamperlihatkan bahwa objek sosiologi hukum
adalah pada kenyataan sistem kemasyaraktan. Maka dari itu dapat dipahami bahwa
objek utama sosiologi hukum adalah masyarakat dan pada tingkat selanjutnya
yaitu kaedah-kaedah.
Menurut Satjipto Rahardjo sosiologi hukum
adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari definisi itu Satjipto
Rahardjo memberikan beberapa karakteristik dari sosiologi hukum:
1.
Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum. Hal-hal yang diselidiki misalnya faktor-faktor yang
mempengaruhi, sebab-sebabnya, latarbelakangnya.
2.
Sosiologi hukum senantiasa mengkaji kebenaran empiris. Maksudnya, mengenai
bagaimana kenyataan sebuah peraturan, apakah kenyataannya seperti yang tertera
dalam bunyi peraturannya atau tidak.
3.
Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhdap hukum tetapi hanya
memberikan penjelasan dari objek yang dipelajarinya.
Karakteristik tersebut sesuai dengan pendapat
Bapak Sosiologi Hukum Rosce Pound, ia mengungkapkan bahwa problem utama yang
menjadi perhatian oleh para praktisi sosiologi hukum adalah bagaimana mendorong
pembuat hukum untuk menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum yang
menggunakan fakta sosioal, penerapan hukum sebagai acuannya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi.
Jadi sosiologi hukum mengkaji hukum dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan sesama,
anggota masyarakat berpedoman pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Kaidah tersebut dapat sesuai dengan aturan tertulis (hukum
positif) dan dapat pula tidak. Sedang studi hukum yang rechtsleer lebih merupakan ajaran kaum positivis (Hans Kelsen)
tentang bagaimana hukum yang tertulis dalam buku-buku itu diterapkan
(Wignjosoebroto, 1994). Itu artinya , anggota masyarakat tidak boleh tidak
harus berpedoman pada aturan tertulis yang telah ditetapkan oleh negara atau
yang berwenang.[3]
Pound menganjurkan hukum dipelajari sebagai
suatu proses yang dibedakan dengan hukum yang tertulis. Artinya apakah hukum
yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perilaku anggota masyarakat yang
dikaidahi tersebut. Karena sangat penting dilakukan penilitian dan perlunya
dipakai alat-alat pembuktian yang berasal dari ilmu-ilmu sosial dalam proses
penyelesaian perkara di pengadilan (Soekanto, 1994:37).
B.
Pengaruh dalam Sosiologi Hukum
Filsafat hukum dan ilmu hukum adalah dua hal
besar yang mempengaruhi lahirnya sosiologi hukum. Akan tetapi, hukum alamlah
yang merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum. Teori hukum alam selalu
menentut kembali semua wacana dan isntitusi hukum kepada basisnya yang asli,
yaitu manusia dan masyarakat.
Menurut Friedman hukum alam memiliki beberapa
fungsi (1) Sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi-Kuno
ditransformasikan menjadi suatu sistem interasional yang luas. (2) Sebagai
senjata oleh kedua belah pihak yakni Gereja dan kerajaan dalam pergaulan
antaramereka. (3) Kesahan dari hukum internasionalditegakkan. (4) Menjadi
tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu terhadap
absolutisme. (5) Dijadikan senjata oleh para hakim Amerika, pada waktu mereka
memberikan tafsir terhadap konstitusi mereka.
C.
Metode Sosiologi Hukum
1.
Sosiologi Hukum Empirik
Menurut Bruggink, sosiologi hukum ini
mengumpulkan bahan-bahannya dari perspektif eksternal yaitu pengamat yang
mengobservasi. Sosiologi hukum empirik ini dikenal juga dengan penelitian hukum
kuantitatif. Sosiologi hukum ini lebih difokuskan untuk kebutuhan teoritikal.
Contoh penelitian ini adalah penelitian untuk
berusaha menurunkan jumlah korban kecelakaan lalu lintas, dengan mengubah
kecepatan maksimum yang diijinkan di jalan tol dalam suatu Undang-Undang. Peneliti itu menguji hasil
perubahan kecepatan maksimum yang diizinkan di jalan tol dengan mengukur ketaatan
pada kecepatan maksimum sebelum dan sesudah perubahan itu. Penelitian ini
menunjukkan bahwa orang mematuhi UU dan jumlah korban kecelakaan lalu lintas
berkurang. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada kemungkinan perubahan UU
itu sungguh dapat menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini
sekilas menunjukkan bahwa perubahan UU tersebut efektif.
2.
Sosiologi Hukum Evaluatif
Sosiologi hukum ini lebih menekankan pada
perspektif lainnya. Baginya suatu perspektif eksternal tidak cukup untuk
mempelajari tentang masyarakat. Hal ini memperlukan perspektif internal yakni
perspektif partisipan yang berbicara. Para sosiolog evaluatif ini lebih jauh
mempersoalkan kemurnian hasil-hasil penelitian empirik. Sosiologi ini
difokuskan untuk kepentingan teoritikal dan mengawasi masyarakat yang timbul.
Contoh dari penggunaan metode ini adalah
dalam penelitian gejala yuridisasi, yakni menemukan bahwa banyaknya
aturan-aturan hukum justru berdampak sebaliknya dari tujuan aturan-aturan hukum
itu. Hal ini dikarenakan banyaknya aturan itu justru mencekik kehidupan
masyarakat karena terlalu membelenggu kreatifitas dan spontanitas warga.
Secara singkat sosiologi hukum evaluatif ini
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
pendekatan ini memahami sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia sehari
hari tanpa interpretasi terhadap tindakan orang lain, bahwa manusia tidak bisa
bertindak mengarahkan tingkah lakunya sendiri untuk mencapai tujuan tertentu
2.
dengan pendekatan ini, manusia memiliki kemampuan menembus lapisan luar
sampai pada hal yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
|
SOSIOLOGI HUKUM
|
|
EMPIRIK
(Sosiologi Hukum
Murni)
|
KONTEMPELATIF
(Sosiologi &
Filsafat)
|
|
Objek
|
Hubungan Kaidah-Kaidah Hukum
dan Kenyataan Kemasyarakatan.
Kenyataan Penuh tentang Hukum & Masyarakat
|
|
Tujuan
|
Teoritikal dan Praktikal
|
|
Perspektif
|
Eksternal
|
Internal
|
Teori Kebenaran
|
Teori Korespondensi
|
Teori Pragmatik
|
Proposisi
|
Hanya Informatif atau empirik
|
Juga Normatif dan Evaluatif
|
D.
Metode, Kajian, Objek Sosiologi Hukum
model hukum yuridis-empiris &
yuridis-nomatif
PERBANDINGAN
|
MODEL HUKUM
|
|
ANALITIS POSITIVISME (Jurisprudential)
Yuridis-Normatif
|
SOSIOLOGIS
(Sociological)
Yuridis-Empiris
|
|
OBJEK
|
Jurisprudentie model
|
Sociological model
|
FOKUS
|
Analisis aturan (Rules)
|
Social Structure (Struktur sosial)
|
PROSES
|
Logika
|
Perilaku (Behavior)
|
PILIHAN
|
Praktik (practical)
|
Ilmu pengetahuan (Scientific)
|
TUJUAN
|
Pengambilan keputusan (Decision)
|
Penjelasan (Explanation)
|
LINGKUP
|
Universal
|
Variabel
|
PERSPEKTIF
|
Pelaku (participant)
|
Pengamat (Observer)
|
Dalam
hal itu terdapat 3 konsep sebagai berikut
1. Model Kemasyarakatan (Sociological Model)
Model kemasyarakatan adalah bentuk–bentuk interaksi sosial yang terjadi di
dalam kehidupan bermasyarakat.
a. Interaksi sosial
Interkasi sosial berarti suatu kehidupan bersama yang menunjukkan
dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami
perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosal yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang
perorang, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan
kelompok manusia.[4]
Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai
perekat dalam kehidupan sosial, baik dalam konteks kehidupan pranata keluarga
maupun dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
b. Sistem Sosial
Sistem sosial dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan elemen atau
bagian-bagian yang saling terganung satu sama lain, sehingga terbentuk satu
kesatuan atau kesinambungan. Kesinambungan ini senantiasa harus dijaga dan
dipelihara demi menjaga keutuhan sistem. Apabila sistem ini tidak fungsional
terhadap lainnya, sistem tersebut akan rusak dengan sendirinya. Menurut M.
Munandar Soelaeman, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari
bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
kesinambungan.[5]
2. Struktur Sosial
Struktur sosial adalah suatu jalinan yang secara relatif tetap antara
unsur-unsur sosial. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah sosial,
lembaga-lembaga kemsyarakatan, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan
sosial. Selain itu, struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat
operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi.
3. Perilaku (Behavior)
Perilaku
merupakan kenyataan hukum di dala masyarakat, sehingga terkadang apa yang
dicita-citakan oleh masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum justru tidak
sesuai dari apa yang diharapkan..Akhlak atau suatu sistem perilaku dapat
diwujudkan melalui sekurang-kurangnya dua pendekatan sebagai berikut.
a. Rangsangan
Rangsangan adalah perilaku manusia yang terwujud karena adanya dorongan
dari suatu keadaan. Keadaan dimaksud itu, terwujud karena adanya (1)latihan (2)
tanya jawab (3) mencontoh.
b. Kognitif
Kognitif adalah penyampaian informasi yang didasari oleh dalil-dalil
Al-Qur’an dan Al-Hadis, teroi-teori dan konsep-konsep. Ruang lingkup yang
menjadi objek kajian akhlak, yaitu (1) akhlak yang berhubungan dengan Allah (2)
akhlak yang berhubungan dengan diri sendiri (3) akhlak yang berhubungan dengan
keluarga (4) akhlak yang berhubungan dengan masyarakat (5) akhlak yang
berhubungan dengan alam.
E.
Hukum sebagai Sosial Kontrol
Sosial Kontrol biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang
direncanakan maupun tidak, yang bersifat
mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem
kaidah dan nilai yang berlaku. Fungsi hukum dalam kelompok dimaksud di atas
adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat
dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai
suatu fungsi utuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Hukum tampak
mempunyai fungsi rangkap. Di satu pihak dapat merupakantindakan yang mungkin
menjadi demikian melembaga. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang
berwujud reaksi kelompok itu terhadap tingkah lau yang menyimpang.[6]
F.
Manfaat Sosiologi Hukum
dengan mempelajari sosiologi hukum kita dapat
mengetahui hal hal sebagai berikut :
1.
hukum dalam konteks sosialnya atau hukum dalam masyarakat
2.
melakukan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik
sebagai sarana pengendalian sosial maupun sarana untuk mengubah masyarakat
mencapai keadaan sosial tertentu.
3.
efektivitas hukum yang diamati dapat dievaluasi sehingga dapat ditemukan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kegunaan Sosiologi Hukum
Dalam Tahap
|
Kegunaan
|
Organisasi dalam masyarakat
|
·
Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan
falsafah yang memengaruhi perencanaan, pembentukan serta penegakan hukum.
·
Dapat didentifisikan unsur-unsur kebudayaan manakah
yang memengaruhi isi atau substansi hukum.
·
Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di
dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
|
Golongan dalam masyarakat
|
·
Golongan manakah yang dapat menentukan penerapan dan
pembentukan hukum.
·
Golongan manakah yang dirugikan atau yang diuntungkan
dengan adanya hukum-hukum tertentu.
·
Kesadaran hukum dari golongan-golongan tertentu dalam
masyarakat.
|
Taraf individual
|
·
Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat
mengubah perilaku warga masyarakat.
·
Kekuatan, kemampuan, kesungguhan hati dari para penegak
hukum dalam melaksanakan fungsinya.
·
Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap hukum,
baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban hak-hak maupun
perilaku yang teratur.
|
Anwar,
Yesmil dan Andang. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo. 2008.
G. Negara Modern
Negara
modern adalah suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui
pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern adalah
personifikasi dari tata hukum. Artinya, negara dalam segala akifitasnya
senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut
sebagai negara hukum. Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum,
dikenal dua kelompok negara hukum,
Yakni negara hukum formal dan
negara hokum materiil. Negara hokum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie Ide
negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis
yang berkembang pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol
perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-Liberalis. Dalam perspektif
hukum, menurut Wilhelm Lunstedt berpendapat : “Law is nothing but the very
life of mindkind in organized groups and the condition which make possible
peaceful co-existence of masses of individuals and social groups and the
coorporation for other ends than more existence and propagation”[7]
Negara
modern ini muncul pada abad kedelapan belas. Munculnya Negara modern ini
membawa perkembangan yang positif bagi pelaksanaan studi secara sosiologis.
Salah satu perkembangan penting yang berhubungan dengan hal tersebut adalah
hukum semakin menjadi institusi yang diadakan secara sengaja. Selain itu,
munculnya Negara modern ini juga memicu terjadinya sentralisasi kekuasaan
ditangan Negara, sehingga menghendaki Negara sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Maka dari itu, semua institusi public juga harus dihubungkan dengan
Negara, sehingga hukum juga menjadi hukum Negara, peradilan menjadi peradilan
Negara dan seterusnya. Sehingga disini tampaklah bahwa terjadi formalisasi
birokratisasi dan penegaraan terhadap hukum.
Dewasa ini, tidak ada Negara yang tidak menggolongkan dirinya
sebagai Negara modern. Terlebih setelah melihat bahwa Negara modern ini sebagai
objek yang penting bagi perkembangan sosiologi hukum,seperti telah disebutkan
diatas, perkembangan yang dibawanya diantaranya adalah menjadikan setiap hal
lebih bersifat formal, setiap institusi baru dianggap sah apabila dikaitkan
dengan Negara, seperti hukum Negara, peradilan Negara, dan sebagainya. Oleh karenanya
hamper setiap Negara menjadikan Negara modern sebagai prototype sebelum
mengembangkan sendiri negaranya.
Seperti telah disinggung diatas, Negara modern ini muncul di eropa
sekitar pada abad kedelapan belas. Tetap tentu saja Negara modern ini tidak
serta merta muncul tanpa mengalami perkembangan terlebih dahulu. Gianfranco
poggi, guru besar sosiologi membagi pertumbuhan Negara modern kedalam beberapa
masa : 1) feodalisme, 2)staertdestact, 3) Absolutisme, 4) Masyarakat Sipil, 5)
Negara Konstitusional[8]
Periodisasi tersebut mengandung arti bahwa “organisasi masyarakat
optimum”, yaitu bentuk pengorganisasian tertinggi dalam suatu lingkungan
wilayah tertentu, mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perubahan
tersebut merupakan fungsi dan mengikuti dari sistem dan struktur produksi yang
digunakan masyarakat. Terdapat hubungan yang saling mendukung antara struktur
produksi dan pengorganisasian masyarakat optimum. Tetapi ada factor psikis yang
juga mempengaruhi perkembangan tersebut. Satjipto rahardjo menyebut factor ini
sebagai budaya. Factor budaya ini adalah substansi yang bersifat mandiri dan
karakteristik pada suatu lingkungan tertentu yang menentukan bagaimana respons
terhadap struktur produksi.[9]
Apabila mengamati perkembangan organisasi masyarakat optimum di
eropa, kita akan melihat munculnya bentuk bentuk yang semakin impersonal atau
struktur yang semakin rasional. Pada saat eropa masih berada pada masa agraris
feudal, masyarakat optimumnya hanya terdiri dari suatu komunitas kecil yang
struktur produksinya menggunakan alat bantu bukan mesin. Proses kehidupannya
pun tidak terlalu jauh berputar dan hanya berputar didalam atau disekitar
komunitas kecil itu saja.
Awal terjadinya perubahan proses kehidupan masyarakat eropa adalah
terjadinya perpindahan yang signifikan dalam factor produksi dari yang awalnya
menggunakan alat bantu bukan mesin menjadi penggunaan mesin secara ekstensif.
Industrialisasi pada abad kedelapan belas merupakan momentum bagi terjadinya
perubahan tersebut, hal ini secara otomatis juga memunculkan bentuk baru dari
organisasi masyarakat optimum. Bentuk baru yang disebut Steandestaat ini
memiliki ciri mulai munculnya profesi yang beragam dari yang awalnya hanya
pertanian saat berada pada fase agraris feodalis. Munculnya bentuk baru tersebut
juga menjadi awal dari munculnya fenomena urbanisasi. Masyarakat pindah ke kota
yang menawarkan profesi yang lebih beragam dibandingkan di pedesaan yang hanya
memiliki pertanian sebagai mata pencaharian. Akibat munculnya urbanisasi di
banyak pedesaan ke satu kota memunculkan hubungan yang lebih bersifat egaliter,
hal ini berbeda dengan di pedesaan yang hubungan kekerabatannya masih bersifat
hirarkis. Tatanan hubungan inilah yang mengawali tradisi parlemen dan
demokrasi.[10]
H. Kekuatan Sosial dan Negara Modern sebagai pembentuk Hukum Modern
Salah Satu factor penting yang mempengaruhi munculnya Hukum Modern
adalah peranan para kaum borjuis eropa yang pada jamannya menginginkan
pengakuan dan identitas sendiri sebagai suatu kelas. Hal tersebut muncul karena
sistem hukum yang ada pada saat itu tidak memungkinkan bagi kaum borjuis untuk
tampil dalam masyarakat sebagai sebuah golongan atau kekuatan. Struktur pada
waktu itu lebih bersifat egaliter sehingga lebih memaksakan disiplin bagi para
anggotanya, sedangkan para kaum borjuis lebih menghendaki adanya suasana
kompetitif diantara anggotanya sehingga diharapkan tercapainya kondisi
keseimbangan dan suatu masyarakat sipil.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, kaum borjuis dihalangi struktur
fragmentaris yang diwarisi hukum saat itu dari masyarakat masyarakat
pendahulunya, yaitu feudal dan standisch, dimana jika seseorang berbicara
mengenai hukum, maka mereka beradu argumentasi dengan berdasar hukum masing
masing pihak yang berisi prerogative prerogative dan imunitas imunitas setiap
pihak yang didapat dari tradisi. Hal tersebut tentu saja tidak memihak kaum
borjuis yang merupakan golongan baru, berbeda dari golongan lain yang sudah ada
sejak lama dan memiliki hak prerogative dan imunitas tersebut, misalnya
kerajaan dan ningrat.
Dalam posisi underdog seperti itu kaum borjuis tetap berusaha
untuk mewujudkan ambisi mereka, dan usaha mereka itu perlahan menunjukkan
terjadinya perubahan didalam masyarakat. Pada masa itu mata pencaharian
masyarakat eropa mulai meluas dari pertanian ke industry dan perdagangan,
masyarakat semakin banyak yang melakukan urbanisasi ke kota. Peran kota pun
tidak hanya sebagai pemukiman saja, melainkan juga berperan dalam reformasi
politik. Hal ini dikarenakan tatanan kota yang bersifat lebih egaliter, sehingga
warganya dapat membela kepentingannya terhadap penguasa kota.
Untuk dapat masuk menjadi sebuah golongan sendiri tentunya kaum
borjuis harus mengubah sistem hukum saaat itu yang fragmentaris menjadi sebuah
hukum yang bersifat umum, abstrak dan formal. Sehingga dengan rancangan hukum
modern tersebut dapat mengatasi hukum hukum yang diajukan oleh masing masing
pihak yang berasal dari tradisi mereka untuk menyelesaikan suatu sengketa.
Untuk membuat sistem hukum ini formal maka hukum ini harus berasal atau diakui
oleh pemerintah yang berdaulat.
Golongan Borjuis berperan penting terhadap terbentuknya sistem
hukum modern, mereka menjadi kekuatan social penting yang melatar belakangi
perombakan hukum lama menjadi modern. Kemunculan hukum itu juga berkaitan erat
dengan terjadinya iondustrialisasi dan sistem produksi yang kapitalis. Disini
terlihat bahwa hukum itu berubah dan dibentuk oleh kekuatan kekuatan social
dalam masyarakat, seperti yang dilakukan kaum borjuis. Hukum sebagai institusi
yang memberi keadilan mengalami pengkajian ulang sesuai kekuatan social yang
membentuknya. Perombakan tersebut meliputi konsep tentang keadilan, asas dan
doktrin yang dianut, hingga metode kerja dan administrasinya.
Dalam banyak tulisan modern mengenai hukum di barat banyak muncul
topic bahasan bagaimana mengubah atau membentuk sistem hukum yang terlepas dari
akar social dan budayanya sehingga hukum dapat secara murni diterapkan sebagai
alat untuk merubah pola pola kehidupan social. Karl von Savigny berpendapat
bahwa selama hukum diopandang sebagai sebuah aspek dari masyarakat, maka hukum
tidak akan pernah mampu untuk berdiri sendiri sekaligus bertindak atas nama
masyarakat.[11]
Tetapi berbeda apabila hukum dipandang sebagai instrument kekuasaan Negara.
Hukum dapat berdiri secara independen dan tidak terpengaruh dari budaya dan
moral yang hidup ditengah masyarakat, sehingga hukum pun tidak menjadi hal yang
umum diketahui secara detail bagi masyarakat biasa, melankan hanya dipahami
secara rinci oleh para praktisi hukum. Sehingga dalam Negara modern, hukum
modern ini berperan sebagai alat control social dan alat menertibkan
masyarakat.
I. Sosiologi dari hukum modern
Hukum modern dengan berbagai karakteristik yang ada telah
menciptakan sosiologi hukumnya sendiri. Hukum modern yang sudah menjadi semakin
spesialistis, penuh dengan idiosinkrasi dan mengalami isolasi sosial,
dipastikan akan menimbulkan persoalan-persoalan sosiologis.Membandingkan secara
ekstrem antara hukum modern dan hukum kuno memberikan perspektif sosiologis
tersendiri. Hukum kuno muncul secara spontan melalui perilaku dan interaksi
antara para anggota masyarakat. Hampir tidak ada kkesenjangan antara apa yang
diatur dengan apa yang dikerjakan oleh masyarakat. Keadaan yang demikian itu
tidak dijumpai dalam hukum modern yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan
tersendiri untuk tujuan-tujuan yang ditentukan oleh badan itu sendiri. Hukum
modern memiliki kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat bertindak secara jauh
lebih keras daripada hukum kuno, mulai dari badan legislatif, yudikatif,
eksekutif, dan lain sebagainya.
Kesenjangan antara hukum dan perilaku nyata dalam masyarakat
menjadi pandangan sehari-hari bagi masyarakat itu sendiri. Di dalam masyarakat,
kemudian dikenal dengan adanya ungkapan law in the books dan law in action. Ditempatkan pada
latar belakang sebagaimana dipaparkan di atas, sosiologi hukum menempati
kedudukan yang cukup penting, yaitu merupakan suatu bagian yang memperhatikan
sisi lain dari hukum sebagai peraturan dengan cara memperhatikan apa yang
senyatanya terjadi dan bukan hanya yang tercantum dalam naskah undang-undang.
Sehingga kemudian, sosiologi hukum menjadi ilmu yang kritis ketika berhadapan
dengan ilmu hukum yang normatif.
Hukum modern tampil dalam bentuk yang khas, yaitu otonom, publik
dan positif. Otonomi hukum modern meliputi substansi, institusi, metodologi dan
okupasi. Otonomi dalam substansi dicapai melalui pengaturan materi hukum secara
mandiri, artinya tidak mengikuti begitu saja apa yang menjadi substansi bidang
lain ddalam masyarakat. Hukum memiliki metode kerja sendiri yang khas serta
menuntut keahlian khusus bagi mereka yang menjabat dalam pekerjaan-pekerjaan
hukum.Sejak hukum memiliki kualitas yang demikian, maka hukum kemudian menjadi
suatu bidang yang esoterik.
Keadaan tersebut menjadikan hukum sebagai bidang yang sangat terstruktur. Dalam
posisinya itu, hukum menjadi institusi yang terasing, di mana hukum menjadi
terpisah dari kehidupan sosial yang penuh.
Keadaan yang demikian itu menjadikan proses hukum menjadi sesuatu
yang hanya bisa ditempuh melalui cara yang spesifik. Sebagai akibatnya, tidak
semua persoalan sosial dapat menemukan jalannya untuk masuk ke dalam jalur
hukum yang Selain itu, format hukum yang sudah terstruktur dengan ketat juga
tidak mudah untuk menampung persoalan-persoalan yang seharusnya diselesaikan.
Melalui strukturisasi yang ketat, hukum modern menjadikan dirinya institusi
yang terlalu sempit untuk dapat mengakomodasi besarnya persoalan yang
dihadapinya. Dalam keadaan demikian, pengamatan sosiologis menunjukkan bahwa
masyarakat berusaha untuk menemukan jalannya sendiri dalam menangani
persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sekalipun suatu negara menyatakan dirinya
sebagai negara berdasarkan hukum, tetapi tidak semua persoalan dapat
diselesaikan melalui jalan atau institusi hukum.
Fenomena munculnya institusi sosial yang berjalan secara
berdampingan dengan institusi hukum merupakan hal yang lumrah dipandang dari
optik sosiologi hukum. Sosiologi hukum yang lebih melihat kenyataan daripada
struktur atau institusi formal menemukan bahwa hukum dapat bekerja tanpa
memakai legitimasi yuridis-formal. Atrinya, dalam masyarakat dapat ditemukan
badan-badan yang sebenarnya menjalankan fungsi-fungsi hukum tanpa memiliki
legitimasi yang sah secara hukum. Menurut kacamata sosiologi hukum, hal
tersebut sudah cukup dapat mengatakan adanya suatu sistem hukum dalam
masyarakat atau lingkungan kehidupan tertentu. Menurut pendapat W. M. Evan,
seorang sosiolog hukum, suatu sistem hukum sudah dapat dikatakan ada, apabila
di situ ditemukan (1) suatu sistem peraturan yang menjadi acuan perbuatan dan
harapan dari para anggota suatu sistem sosial, serta (2) spesialisasi
posisi-posisi yang dipercaya mengemban fungsi-fungsi normatif.
Munculnya tatanan sosiologis di tengah berlakunya hukum modern dapat
disebabkan oleh kekakuan struktur formal hukum itu sendiri sehingga menyebabkan
sempitnya jalan masuk ke dalam hukum serta merupakan kekurangan dari hukum itu
sendiri, misalnya efek diskriminatif.[12]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sosiologi Hukum adalah cabang dari ilmu sosiologi. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum
positif yang berlaku (baik isi maupun bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu
dan tempat), dengan bantuan faktor-faktor pemasyarakatan. Pemikiran sosiologi
hukum lebih terfokus pada keberlakuan hukum secara empirik maupun faktual, hal
ini mamperlihatkan bahwa objek sosiologi hukum adalah pada kenyataan sistem
kemasyaraktan. Maka dari itu dapat dipahami bahwa objek utama sosiologi hukum
adalah masyarakat dan pada tingkat selanjutnya yaitu kaedah-kaedah.
Menurut Satjipto Rahardjo sosiologi hukum
adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari definisi itu Satjipto
Rahardjo memberikan beberapa karakteristik dari sosiologi hukum:
4.
Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum. Hal-hal yang diselidiki misalnya faktor-faktor yang
mempengaruhi, sebab-sebabnya, latarbelakangnya.
5.
Sosiologi hukum senantiasa mengkaji kebenaran empiris. Maksudnya, mengenai
bagaimana kenyataan sebuah peraturan, apakah kenyataannya seperti yang tertera
dalam bunyi peraturannya atau tidak.
6.
Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhdap hukum tetapi hanya
memberikan penjelasan dari objek yang dipelajarinya.
Negara
modern adalah suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui
pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern adalah
personifikasi dari tata hukum. Artinya, negara dalam segala akifitasnya
senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut
sebagai negara hukum. Negara hukum ini lahir sekitar abad kedelapan belas
sebagai wujud pertentangan para kaum borjuis terhadap penjajahan kaum sosialis
dan liberalis. Munculnya Negara modern ini membawa banyak dampak positif,
seperti semakin majunya sumber daya manusia, semakin beragamnya mata pencaharian
yang dimiliki oleh warga Negara, menciptakan tatanan masyarakat yang lebih
egaliter sehingga hak hak nya terjamin atau dapat dituntut, dan tentunya
menjadi tonggak awal lahirnya sebuah hukum modern.
Hukum modern yang tercipta/
lahir dari adanya Negara modern ini berbeda dengan hukum kuno yang dulu
berlaku. Hukum kuno lahir melalui interaksi dan kebiasaan didalam masyarakat,
sedangkan hukum modern mempunyai sifat otonom yang berarti ia tidak terikat
dengan satu budaya tertentu yang mendiami suatu daerah dan berdiri sendiri
berbeda dengan institusi institusi lainnya. Hukum modern ini diciptakan oleh
Negara sebagai alat control social dan mewujudkan ketertiban. Namun, meskipun
mempunyai tujuan tersebut, hukum ini tidak secara rinci diketahui oleh setiap
masyarakat, meskipun secara umum masyarakat mengetahui aturan aturan atau hukum
yang berlaku di negaranya (hukum positif), tetapi para praktisi hukum lah yang
secara khusus dan rinci mengetahui mengenai hukum modern ini. Karena dibentuk
oleh Negara ini tentunya menjadikan hukum ini bersifat formal, yang
membedakannya dengan hukum kuno yang tidak bersifat formal.
Dengan analogi diatas maka
dapat disimpulkan bahwasanya lahirnya sebuah Negara modern dpengaruhi oleh
sebuah kekuatan social yang menentang sistem hukum eropa pada abad kedelapan
belas, kekuatan social tersebut ialah kaum borjuis yang berusaha menghapuskan
tatanan hukum yang fragmentaris dan mengubahnya dengan sebuah hukum yang umum,
universal dan formal. Maka dari itu lahirlah sebuah hukum modern yang bersifat
formal karena dibuat dan ditetapkan oleh Negara serta berlaku secara universal
dan diketahui secara umum oleh warga negaranya. Dan dengan terbentuknya hukum
modern ini maka diperlukan lah kajian sosiologi hukum yang yang diantaranya
menganalisa tentang sebuah hukum yang berlaku didalam suatu masyarakat serta
efektivitasny didalam masyarakat tersebut. Sehingga dengan kajian sosiologi
hukum ini dapat diketahui bagaimana suatu hukum bekerja dalam masyarakat,
sehingga seiring berjalannya waktu maka hukum ini akan semakin efektif karena
selalu dikontrol, diteliti, dan dikaji pengaruh dan efektivitasnya didalam
masyarakat dengan sosiologi hukum.
[1] Utsman,
Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum:
Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm
11
[3] Adi, Rianto.
Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara
Sosiologis, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012, hlm 26
[5]
Soelaeman, M Munandar. Sosiologi
Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm 30gi.
[7] Negara modern
sebagai personifikasi dari tata hukum merupakan bentuk penyederhanaan atau
generalisasi yang dilakukan Hans Kelsen berdasarkan perspektif teori hukum
murni, dimana negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan
hukum, yakni korporasi. Lihat dalam Hans Kelsen, 2010, Teori Umum
Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
Deskriptif-Empirik, Alih bahasa oleh : Soemardi. Cet, III. (Bee Media Indonesia, Bandung), hlm
225.
[8]
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah,Hlm.43
[9]
Ibid,hlm.43
[10]
Gianfranco Poggi dalam satjipto rahardjo,sosiologi hukum : Perkembangan Metode
dan Pilihan Masalah,hlm.44
[11]
Karl Von Savigny dalam Roger Cotternell,Sosiologi Hukum (The Sociology of
Law).hlm.65
[12]
http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/390-negara-modern-dan-sosiologi-hukum.
diakses tanggal 5 april 2015 jam 1.01.
0 comments:
Post a Comment