Thursday, March 24, 2016

Negara Modern dan Sosiologi Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Negara modern adalah suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan  struktur penataan yang rasional. Negara modern melahirkan suatu kehidupan dan tatanan dengan struktur yang rigid yang belum dikenal sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia. Diantaranya adalah dengan mengadakan strukturalisasi hukum menjadi badan legislatif, eksekutif, yudikatif.
Sosiologi Hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi yang termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial dan inilah menurut Wignjosoebroto suatu kajian, cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat manusia pada umunya, yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia pada umumnya, yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia menegakkan dan menyejahterakan kehidupannya, serta mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kajian pada cabang-cabang sosiologi yang lain.
Namun sosiologi hukum dan Negara modern mempunyai definisi yang lebih rinci dari uraian diatas. Selain itu, perlu diketahui pula bagaimana peranan sebuah kekuatan social dalam masyarakat dalam terbentuknya sebuah Negara modern, sehingga dapat diketahuilah peranan sosiologi hukum bagi Negara modern. Selain itu, makalah ini akan mencoba mengkaji bagaimana hubungan antara sosiologi hukum, Negara modern, dan hukum modern.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apakah itu sosiologi hukum?
b.      Apakah itu Negara Modern?
c.       Bagaimana Hubungan Sosiologi Hukum, Negara Modern, dan Hukum Modern?
  1. Tujuan Penelitian
    1. Menjelaskan pengertian sosiologi hukum, objek studi, dan manfaat mempelajarinya
    2. Menjelaskan bagaimana suatu Negara modern terbentuk dan definisi Negara modern itu sendiri.
    3. Menjelaskan mengenai hubungan sosiologi hukum dan Negara modern dengan berkembangnya hukum modern

  1. Manfaat Penelitian
    1. Mengetahui pengertian sosiologi hukum, objek pembelajaran, dan manfaat mempelajarinya
    2. Mengetahui bagaimana awal terbentuknya sebuah Negara modern dan bagaimana suatu Negara disebut modern
    3. Mengetahui hubungan sosiolog hukum dan Negara modern terhadap lahir dan berkembangnya hukum modern
  2. Metode Penelitian
    1. Deskripsi
    2. Studi pustaka
A.    Apakah itu Sosiologi Hukum
Seorang ahli filsafat dari Perancis yaitu Auguste Comte (abad ke-19), berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai tahapan-tahapan yang berdasar kepada logika yang kemudian sampai kepada tahapan apa yang dikatakan ilmiah. Sehingga Comte menghendaki agar penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte memberi nama ilmu tentang masyarakat adalah “Sosiologi” 91939) yang mana berasal kata latin socius berarti “kawan” dan kata Yunani logos yang mana berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi sosiologi tersebut bermakna “berbicara mengenai masyarakat”. Comte pun berharap agar sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.[1]
Dari sudut sejarah sosoiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Italia bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi hukum ini pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli baik di bidang filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi.[2] Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku (baik isi maupun bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat), dengan bantuan faktor-faktor pemasyarakatan. Pemikiran sosiologi hukum lebih terfokus pada keberlakuan hukum secara empirik maupun faktual, hal ini mamperlihatkan bahwa objek sosiologi hukum adalah pada kenyataan sistem kemasyaraktan. Maka dari itu dapat dipahami bahwa objek utama sosiologi hukum adalah masyarakat dan pada tingkat selanjutnya yaitu kaedah-kaedah.
Menurut Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari definisi itu Satjipto Rahardjo memberikan beberapa karakteristik dari sosiologi hukum:
1.      Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum. Hal-hal yang diselidiki misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi, sebab-sebabnya, latarbelakangnya.
2.      Sosiologi hukum senantiasa mengkaji kebenaran empiris. Maksudnya, mengenai bagaimana kenyataan sebuah peraturan, apakah kenyataannya seperti yang tertera dalam bunyi peraturannya atau tidak.
3.      Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhdap hukum tetapi hanya memberikan penjelasan dari objek yang dipelajarinya.
Karakteristik tersebut sesuai dengan pendapat Bapak Sosiologi Hukum Rosce Pound, ia mengungkapkan bahwa problem utama yang menjadi perhatian oleh para praktisi sosiologi hukum adalah bagaimana mendorong pembuat hukum untuk menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum yang menggunakan fakta sosioal, penerapan hukum sebagai acuannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sosiologi hukum adalah cabang kajian sosiologi.
Jadi sosiologi hukum mengkaji hukum dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan sesama, anggota masyarakat berpedoman pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Kaidah tersebut dapat sesuai dengan aturan tertulis (hukum positif) dan dapat pula tidak. Sedang studi hukum yang rechtsleer lebih merupakan ajaran kaum positivis (Hans Kelsen) tentang bagaimana hukum yang tertulis dalam buku-buku itu diterapkan (Wignjosoebroto, 1994). Itu artinya , anggota masyarakat tidak boleh tidak harus berpedoman pada aturan tertulis yang telah ditetapkan oleh negara atau yang berwenang.[3]
Pound menganjurkan hukum dipelajari sebagai suatu proses yang dibedakan dengan hukum yang tertulis. Artinya apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perilaku anggota masyarakat yang dikaidahi tersebut. Karena sangat penting dilakukan penilitian dan perlunya dipakai alat-alat pembuktian yang berasal dari ilmu-ilmu sosial dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan (Soekanto, 1994:37).

B.     Pengaruh dalam Sosiologi Hukum
Filsafat hukum dan ilmu hukum adalah dua hal besar yang mempengaruhi lahirnya sosiologi hukum. Akan tetapi, hukum alamlah yang merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum. Teori hukum alam selalu menentut kembali semua wacana dan isntitusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu manusia dan masyarakat.
Menurut Friedman hukum alam memiliki beberapa fungsi (1) Sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi-Kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem interasional yang luas. (2) Sebagai senjata oleh kedua belah pihak yakni Gereja dan kerajaan dalam pergaulan antaramereka. (3) Kesahan dari hukum internasionalditegakkan. (4) Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu terhadap absolutisme. (5) Dijadikan senjata oleh para hakim Amerika, pada waktu mereka memberikan tafsir terhadap konstitusi mereka.

C.    Metode Sosiologi Hukum
1.      Sosiologi Hukum Empirik
Menurut Bruggink, sosiologi hukum ini mengumpulkan bahan-bahannya dari perspektif eksternal yaitu pengamat yang mengobservasi. Sosiologi hukum empirik ini dikenal juga dengan penelitian hukum kuantitatif. Sosiologi hukum ini lebih difokuskan untuk kebutuhan teoritikal.
Contoh penelitian ini adalah penelitian untuk berusaha menurunkan jumlah korban kecelakaan lalu lintas, dengan mengubah kecepatan maksimum yang diijinkan di jalan tol dalam suatu  Undang-Undang. Peneliti itu menguji hasil perubahan kecepatan maksimum yang diizinkan di jalan tol dengan mengukur ketaatan pada kecepatan maksimum sebelum dan sesudah perubahan itu. Penelitian ini menunjukkan bahwa orang mematuhi UU dan jumlah korban kecelakaan lalu lintas berkurang. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada kemungkinan perubahan UU itu sungguh dapat menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini sekilas menunjukkan bahwa perubahan UU tersebut efektif.
2.      Sosiologi Hukum Evaluatif
Sosiologi hukum ini lebih menekankan pada perspektif lainnya. Baginya suatu perspektif eksternal tidak cukup untuk mempelajari tentang masyarakat. Hal ini memperlukan perspektif internal yakni perspektif partisipan yang berbicara. Para sosiolog evaluatif ini lebih jauh mempersoalkan kemurnian hasil-hasil penelitian empirik. Sosiologi ini difokuskan untuk kepentingan teoritikal dan mengawasi masyarakat yang timbul.
Contoh dari penggunaan metode ini adalah dalam penelitian gejala yuridisasi, yakni menemukan bahwa banyaknya aturan-aturan hukum justru berdampak sebaliknya dari tujuan aturan-aturan hukum itu. Hal ini dikarenakan banyaknya aturan itu justru mencekik kehidupan masyarakat karena terlalu membelenggu kreatifitas dan spontanitas warga.
Secara singkat sosiologi hukum evaluatif ini dapat disimpulkan sebagai berikut       :
1.      pendekatan ini memahami sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia sehari hari tanpa interpretasi terhadap tindakan orang lain, bahwa manusia tidak bisa bertindak mengarahkan tingkah lakunya sendiri untuk mencapai tujuan tertentu
2.      dengan pendekatan ini, manusia memiliki kemampuan menembus lapisan luar sampai pada hal yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.

SOSIOLOGI HUKUM
EMPIRIK
(Sosiologi Hukum Murni)
KONTEMPELATIF
(Sosiologi & Filsafat)
Objek
Hubungan Kaidah-Kaidah Hukum
dan Kenyataan Kemasyarakatan.
Kenyataan Penuh tentang Hukum & Masyarakat
Tujuan
Teoritikal dan Praktikal
Perspektif
Eksternal
Internal
Teori Kebenaran
Teori Korespondensi
Teori Pragmatik
Proposisi
Hanya Informatif atau empirik
Juga Normatif dan Evaluatif

D.    Metode, Kajian, Objek Sosiologi Hukum
model hukum yuridis-empiris & yuridis-nomatif
PERBANDINGAN
MODEL HUKUM
ANALITIS POSITIVISME (Jurisprudential)
Yuridis-Normatif
SOSIOLOGIS
(Sociological)
Yuridis-Empiris
OBJEK
Jurisprudentie model
Sociological model
FOKUS
Analisis aturan (Rules)
Social Structure (Struktur sosial)
PROSES
Logika
Perilaku (Behavior)
PILIHAN
Praktik (practical)
Ilmu pengetahuan (Scientific)
TUJUAN
Pengambilan keputusan (Decision)
Penjelasan (Explanation)
LINGKUP
Universal
Variabel
PERSPEKTIF
Pelaku (participant)
Pengamat (Observer)
Dalam hal itu terdapat 3 konsep sebagai berikut
1.      Model Kemasyarakatan (Sociological Model)
Model kemasyarakatan adalah bentuk–bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat.
a.       Interaksi sosial
Interkasi sosial berarti suatu kehidupan bersama yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perkembangan. Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosal yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.[4] Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan suatu wadah yang berfungsi sebagai perekat dalam kehidupan sosial, baik dalam konteks kehidupan pranata keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
b.      Sistem Sosial
Sistem sosial dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan elemen atau bagian-bagian yang saling terganung satu sama lain, sehingga terbentuk satu kesatuan atau kesinambungan. Kesinambungan ini senantiasa harus dijaga dan dipelihara demi menjaga keutuhan sistem. Apabila sistem ini tidak fungsional terhadap lainnya, sistem tersebut akan rusak dengan sendirinya. Menurut M. Munandar Soelaeman, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam kesinambungan.[5]
2.      Struktur Sosial
Struktur sosial adalah suatu jalinan yang secara relatif tetap antara unsur-unsur sosial. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga kemsyarakatan, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial. Selain itu, struktur sosial sebagai suatu tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi.
3.      Perilaku (Behavior)
Perilaku merupakan kenyataan hukum di dala masyarakat, sehingga terkadang apa yang dicita-citakan oleh masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum justru tidak sesuai dari apa yang diharapkan..Akhlak atau suatu sistem perilaku dapat diwujudkan melalui sekurang-kurangnya dua pendekatan sebagai berikut.
a.       Rangsangan
Rangsangan adalah perilaku manusia yang terwujud karena adanya dorongan dari suatu keadaan. Keadaan dimaksud itu, terwujud karena adanya (1)latihan (2) tanya jawab (3) mencontoh.
b.      Kognitif
Kognitif adalah penyampaian informasi yang didasari oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis, teroi-teori dan konsep-konsep. Ruang lingkup yang menjadi objek kajian akhlak, yaitu (1) akhlak yang berhubungan dengan Allah (2) akhlak yang berhubungan dengan diri sendiri (3) akhlak yang berhubungan dengan keluarga (4) akhlak yang berhubungan dengan masyarakat (5) akhlak yang berhubungan dengan alam.

E.     Hukum sebagai Sosial Kontrol
Sosial Kontrol biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak,  yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Fungsi hukum dalam kelompok dimaksud di atas adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi utuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Hukum tampak mempunyai fungsi rangkap. Di satu pihak dapat merupakantindakan yang mungkin menjadi demikian melembaga. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok itu terhadap tingkah lau yang menyimpang.[6]

F.     Manfaat Sosiologi Hukum
dengan mempelajari sosiologi hukum kita dapat mengetahui hal hal sebagai berikut :
1.         hukum dalam konteks sosialnya atau hukum dalam masyarakat
2.         melakukan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial maupun sarana untuk mengubah masyarakat mencapai keadaan sosial tertentu.
3.      efektivitas hukum yang diamati dapat dievaluasi sehingga dapat ditemukan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kegunaan Sosiologi Hukum
Dalam Tahap
Kegunaan
Organisasi dalam masyarakat
·         Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang memengaruhi perencanaan, pembentukan serta penegakan hukum.
·         Dapat didentifisikan unsur-unsur kebudayaan manakah yang memengaruhi isi atau substansi hukum.
·         Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
Golongan dalam masyarakat
·         Golongan manakah yang dapat menentukan penerapan dan pembentukan hukum.
·         Golongan manakah yang dirugikan atau yang diuntungkan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
·         Kesadaran hukum dari golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
Taraf individual
·         Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perilaku warga masyarakat.
·         Kekuatan, kemampuan, kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya.
·         Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap hukum, baik yang berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban hak-hak maupun perilaku yang teratur.
Anwar, Yesmil dan Andang. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo. 2008.

G.    Negara Modern

Negara modern adalah suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum. Artinya, negara dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum,
Yakni negara hukum formal dan negara hokum materiil. Negara hokum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie Ide negara kesejahteraan ini merupakan  pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-Liberalis. Dalam perspektif hukum, menurut Wilhelm Lunstedt berpendapat : “Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and the condition which make possible peaceful co-existence of masses of individuals and social groups and the coorporation for other ends than more existence and propagation[7]
Negara modern ini muncul pada abad kedelapan belas. Munculnya Negara modern ini membawa perkembangan yang positif bagi pelaksanaan studi secara sosiologis. Salah satu perkembangan penting yang berhubungan dengan hal tersebut adalah hukum semakin menjadi institusi yang diadakan secara sengaja. Selain itu, munculnya Negara modern ini juga memicu terjadinya sentralisasi kekuasaan ditangan Negara, sehingga menghendaki Negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Maka dari itu, semua institusi public juga harus dihubungkan dengan Negara, sehingga hukum juga menjadi hukum Negara, peradilan menjadi peradilan Negara dan seterusnya. Sehingga disini tampaklah bahwa terjadi formalisasi birokratisasi dan penegaraan terhadap hukum.
Dewasa ini, tidak ada Negara yang tidak menggolongkan dirinya sebagai Negara modern. Terlebih setelah melihat bahwa Negara modern ini sebagai objek yang penting bagi perkembangan sosiologi hukum,seperti telah disebutkan diatas, perkembangan yang dibawanya diantaranya adalah menjadikan setiap hal lebih bersifat formal, setiap institusi baru dianggap sah apabila dikaitkan dengan Negara, seperti hukum Negara, peradilan Negara, dan sebagainya. Oleh karenanya hamper setiap Negara menjadikan Negara modern sebagai prototype sebelum mengembangkan sendiri negaranya.
Seperti telah disinggung diatas, Negara modern ini muncul di eropa sekitar pada abad kedelapan belas. Tetap tentu saja Negara modern ini tidak serta merta muncul tanpa mengalami perkembangan terlebih dahulu. Gianfranco poggi, guru besar sosiologi membagi pertumbuhan Negara modern kedalam beberapa masa : 1) feodalisme, 2)staertdestact, 3) Absolutisme, 4) Masyarakat Sipil, 5) Negara Konstitusional[8]
Periodisasi tersebut mengandung arti bahwa “organisasi masyarakat optimum”, yaitu bentuk pengorganisasian tertinggi dalam suatu lingkungan wilayah tertentu, mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut merupakan fungsi dan mengikuti dari sistem dan struktur produksi yang digunakan masyarakat. Terdapat hubungan yang saling mendukung antara struktur produksi dan pengorganisasian masyarakat optimum. Tetapi ada factor psikis yang juga mempengaruhi perkembangan tersebut. Satjipto rahardjo menyebut factor ini sebagai budaya. Factor budaya ini adalah substansi yang bersifat mandiri dan karakteristik pada suatu lingkungan tertentu yang menentukan bagaimana respons terhadap struktur produksi.[9]
Apabila mengamati perkembangan organisasi masyarakat optimum di eropa, kita akan melihat munculnya bentuk bentuk yang semakin impersonal atau struktur yang semakin rasional. Pada saat eropa masih berada pada masa agraris feudal, masyarakat optimumnya hanya terdiri dari suatu komunitas kecil yang struktur produksinya menggunakan alat bantu bukan mesin. Proses kehidupannya pun tidak terlalu jauh berputar dan hanya berputar didalam atau disekitar komunitas kecil itu saja.
Awal terjadinya perubahan proses kehidupan masyarakat eropa adalah terjadinya perpindahan yang signifikan dalam factor produksi dari yang awalnya menggunakan alat bantu bukan mesin menjadi penggunaan mesin secara ekstensif. Industrialisasi pada abad kedelapan belas merupakan momentum bagi terjadinya perubahan tersebut, hal ini secara otomatis juga memunculkan bentuk baru dari organisasi masyarakat optimum. Bentuk baru yang disebut Steandestaat ini memiliki ciri mulai munculnya profesi yang beragam dari yang awalnya hanya pertanian saat berada pada fase agraris feodalis. Munculnya bentuk baru tersebut juga menjadi awal dari munculnya fenomena urbanisasi. Masyarakat pindah ke kota yang menawarkan profesi yang lebih beragam dibandingkan di pedesaan yang hanya memiliki pertanian sebagai mata pencaharian. Akibat munculnya urbanisasi di banyak pedesaan ke satu kota memunculkan hubungan yang lebih bersifat egaliter, hal ini berbeda dengan di pedesaan yang hubungan kekerabatannya masih bersifat hirarkis. Tatanan hubungan inilah yang mengawali tradisi parlemen dan demokrasi.[10]

H.    Kekuatan Sosial dan Negara Modern sebagai pembentuk Hukum Modern
Salah Satu factor penting yang mempengaruhi munculnya Hukum Modern adalah peranan para kaum borjuis eropa yang pada jamannya menginginkan pengakuan dan identitas sendiri sebagai suatu kelas. Hal tersebut muncul karena sistem hukum yang ada pada saat itu tidak memungkinkan bagi kaum borjuis untuk tampil dalam masyarakat sebagai sebuah golongan atau kekuatan. Struktur pada waktu itu lebih bersifat egaliter sehingga lebih memaksakan disiplin bagi para anggotanya, sedangkan para kaum borjuis lebih menghendaki adanya suasana kompetitif diantara anggotanya sehingga diharapkan tercapainya kondisi keseimbangan dan suatu masyarakat sipil.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, kaum borjuis dihalangi struktur fragmentaris yang diwarisi hukum saat itu dari masyarakat masyarakat pendahulunya, yaitu feudal dan standisch, dimana jika seseorang berbicara mengenai hukum, maka mereka beradu argumentasi dengan berdasar hukum masing masing pihak yang berisi prerogative prerogative dan imunitas imunitas setiap pihak yang didapat dari tradisi. Hal tersebut tentu saja tidak memihak kaum borjuis yang merupakan golongan baru, berbeda dari golongan lain yang sudah ada sejak lama dan memiliki hak prerogative dan imunitas tersebut, misalnya kerajaan dan ningrat.
Dalam posisi underdog seperti itu kaum borjuis tetap berusaha untuk mewujudkan ambisi mereka, dan usaha mereka itu perlahan menunjukkan terjadinya perubahan didalam masyarakat. Pada masa itu mata pencaharian masyarakat eropa mulai meluas dari pertanian ke industry dan perdagangan, masyarakat semakin banyak yang melakukan urbanisasi ke kota. Peran kota pun tidak hanya sebagai pemukiman saja, melainkan juga berperan dalam reformasi politik. Hal ini dikarenakan tatanan kota yang bersifat lebih egaliter, sehingga warganya dapat membela kepentingannya terhadap penguasa kota.
Untuk dapat masuk menjadi sebuah golongan sendiri tentunya kaum borjuis harus mengubah sistem hukum saaat itu yang fragmentaris menjadi sebuah hukum yang bersifat umum, abstrak dan formal. Sehingga dengan rancangan hukum modern tersebut dapat mengatasi hukum hukum yang diajukan oleh masing masing pihak yang berasal dari tradisi mereka untuk menyelesaikan suatu sengketa. Untuk membuat sistem hukum ini formal maka hukum ini harus berasal atau diakui oleh pemerintah yang berdaulat.
Golongan Borjuis berperan penting terhadap terbentuknya sistem hukum modern, mereka menjadi kekuatan social penting yang melatar belakangi perombakan hukum lama menjadi modern. Kemunculan hukum itu juga berkaitan erat dengan terjadinya iondustrialisasi dan sistem produksi yang kapitalis. Disini terlihat bahwa hukum itu berubah dan dibentuk oleh kekuatan kekuatan social dalam masyarakat, seperti yang dilakukan kaum borjuis. Hukum sebagai institusi yang memberi keadilan mengalami pengkajian ulang sesuai kekuatan social yang membentuknya. Perombakan tersebut meliputi konsep tentang keadilan, asas dan doktrin yang dianut, hingga metode kerja dan administrasinya.
Dalam banyak tulisan modern mengenai hukum di barat banyak muncul topic bahasan bagaimana mengubah atau membentuk sistem hukum yang terlepas dari akar social dan budayanya sehingga hukum dapat secara murni diterapkan sebagai alat untuk merubah pola pola kehidupan social. Karl von Savigny berpendapat bahwa selama hukum diopandang sebagai sebuah aspek dari masyarakat, maka hukum tidak akan pernah mampu untuk berdiri sendiri sekaligus bertindak atas nama masyarakat.[11] Tetapi berbeda apabila hukum dipandang sebagai instrument kekuasaan Negara. Hukum dapat berdiri secara independen dan tidak terpengaruh dari budaya dan moral yang hidup ditengah masyarakat, sehingga hukum pun tidak menjadi hal yang umum diketahui secara detail bagi masyarakat biasa, melankan hanya dipahami secara rinci oleh para praktisi hukum. Sehingga dalam Negara modern, hukum modern ini berperan sebagai alat control social dan alat menertibkan masyarakat.

I.       Sosiologi dari hukum modern
Hukum modern dengan berbagai karakteristik yang ada telah menciptakan sosiologi hukumnya sendiri. Hukum modern yang sudah menjadi semakin spesialistis, penuh dengan idiosinkrasi dan mengalami isolasi sosial, dipastikan akan menimbulkan persoalan-persoalan sosiologis.Membandingkan secara ekstrem antara hukum modern dan hukum kuno memberikan perspektif sosiologis tersendiri. Hukum kuno muncul secara spontan melalui perilaku dan interaksi antara para anggota masyarakat. Hampir tidak ada kkesenjangan antara apa yang diatur dengan apa yang dikerjakan oleh masyarakat. Keadaan yang demikian itu tidak dijumpai dalam hukum modern yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan tersendiri untuk tujuan-tujuan yang ditentukan oleh badan itu sendiri. Hukum modern memiliki kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat bertindak secara jauh lebih keras daripada hukum kuno, mulai dari badan legislatif, yudikatif, eksekutif, dan lain sebagainya.
Kesenjangan antara hukum dan perilaku nyata dalam masyarakat menjadi pandangan sehari-hari bagi masyarakat itu sendiri. Di dalam masyarakat, kemudian dikenal dengan adanya ungkapan law in the books  dan law in action. Ditempatkan pada latar belakang sebagaimana dipaparkan di atas, sosiologi hukum menempati kedudukan yang cukup penting, yaitu merupakan suatu bagian yang memperhatikan sisi lain dari hukum sebagai peraturan dengan cara memperhatikan apa yang senyatanya terjadi dan bukan hanya yang tercantum dalam naskah undang-undang. Sehingga kemudian, sosiologi hukum menjadi ilmu yang kritis ketika berhadapan dengan ilmu hukum yang normatif.
Hukum modern tampil dalam bentuk yang khas, yaitu otonom, publik dan positif. Otonomi hukum modern meliputi substansi, institusi, metodologi dan okupasi. Otonomi dalam substansi dicapai melalui pengaturan materi hukum secara mandiri, artinya tidak mengikuti begitu saja apa yang menjadi substansi bidang lain ddalam masyarakat. Hukum memiliki metode kerja sendiri yang khas serta menuntut keahlian khusus bagi mereka yang menjabat dalam pekerjaan-pekerjaan hukum.Sejak hukum memiliki kualitas yang demikian, maka hukum kemudian menjadi suatu bidang yang esoterik. Keadaan tersebut menjadikan hukum sebagai bidang yang sangat terstruktur. Dalam posisinya itu, hukum menjadi institusi yang terasing, di mana hukum menjadi terpisah dari kehidupan sosial yang penuh.
Keadaan yang demikian itu menjadikan proses hukum menjadi sesuatu yang hanya bisa ditempuh melalui cara yang spesifik. Sebagai akibatnya, tidak semua persoalan sosial dapat menemukan jalannya untuk masuk ke dalam jalur hukum yang Selain itu, format hukum yang sudah terstruktur dengan ketat juga tidak mudah untuk menampung persoalan-persoalan yang seharusnya diselesaikan. Melalui strukturisasi yang ketat, hukum modern menjadikan dirinya institusi yang terlalu sempit untuk dapat mengakomodasi besarnya persoalan yang dihadapinya. Dalam keadaan demikian, pengamatan sosiologis menunjukkan bahwa masyarakat berusaha untuk menemukan jalannya sendiri dalam menangani persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sekalipun suatu negara menyatakan dirinya sebagai negara berdasarkan hukum, tetapi tidak semua persoalan dapat diselesaikan melalui jalan atau institusi hukum.
Fenomena munculnya institusi sosial yang berjalan secara berdampingan dengan institusi hukum merupakan hal yang lumrah dipandang dari optik sosiologi hukum. Sosiologi hukum yang lebih melihat kenyataan daripada struktur atau institusi formal menemukan bahwa hukum dapat bekerja tanpa memakai legitimasi yuridis-formal. Atrinya, dalam masyarakat dapat ditemukan badan-badan yang sebenarnya menjalankan fungsi-fungsi hukum tanpa memiliki legitimasi yang sah secara hukum. Menurut kacamata sosiologi hukum, hal tersebut sudah cukup dapat mengatakan adanya suatu sistem hukum dalam masyarakat atau lingkungan kehidupan tertentu. Menurut pendapat W. M. Evan, seorang sosiolog hukum, suatu sistem hukum sudah dapat dikatakan ada, apabila di situ ditemukan (1) suatu sistem peraturan yang menjadi acuan perbuatan dan harapan dari para anggota suatu sistem sosial, serta (2) spesialisasi posisi-posisi yang dipercaya mengemban fungsi-fungsi normatif.
Munculnya tatanan sosiologis di tengah berlakunya hukum modern dapat disebabkan oleh kekakuan struktur formal hukum itu sendiri sehingga menyebabkan sempitnya jalan masuk ke dalam hukum serta merupakan kekurangan dari hukum itu sendiri, misalnya efek diskriminatif.[12]


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Sosiologi Hukum adalah cabang dari ilmu sosiologi. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku (baik isi maupun bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat), dengan bantuan faktor-faktor pemasyarakatan. Pemikiran sosiologi hukum lebih terfokus pada keberlakuan hukum secara empirik maupun faktual, hal ini mamperlihatkan bahwa objek sosiologi hukum adalah pada kenyataan sistem kemasyaraktan. Maka dari itu dapat dipahami bahwa objek utama sosiologi hukum adalah masyarakat dan pada tingkat selanjutnya yaitu kaedah-kaedah.
Menurut Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari definisi itu Satjipto Rahardjo memberikan beberapa karakteristik dari sosiologi hukum:
4.      Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum. Hal-hal yang diselidiki misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi, sebab-sebabnya, latarbelakangnya.
5.      Sosiologi hukum senantiasa mengkaji kebenaran empiris. Maksudnya, mengenai bagaimana kenyataan sebuah peraturan, apakah kenyataannya seperti yang tertera dalam bunyi peraturannya atau tidak.
6.      Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhdap hukum tetapi hanya memberikan penjelasan dari objek yang dipelajarinya.
Negara modern adalah suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum. Artinya, negara dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Negara hukum ini lahir sekitar abad kedelapan belas sebagai wujud pertentangan para kaum borjuis terhadap penjajahan kaum sosialis dan liberalis. Munculnya Negara modern ini membawa banyak dampak positif, seperti semakin majunya sumber daya manusia, semakin beragamnya mata pencaharian yang dimiliki oleh warga Negara, menciptakan tatanan masyarakat yang lebih egaliter sehingga hak hak nya terjamin atau dapat dituntut, dan tentunya menjadi tonggak awal lahirnya sebuah hukum modern.
Hukum modern yang tercipta/ lahir dari adanya Negara modern ini berbeda dengan hukum kuno yang dulu berlaku. Hukum kuno lahir melalui interaksi dan kebiasaan didalam masyarakat, sedangkan hukum modern mempunyai sifat otonom yang berarti ia tidak terikat dengan satu budaya tertentu yang mendiami suatu daerah dan berdiri sendiri berbeda dengan institusi institusi lainnya. Hukum modern ini diciptakan oleh Negara sebagai alat control social dan mewujudkan ketertiban. Namun, meskipun mempunyai tujuan tersebut, hukum ini tidak secara rinci diketahui oleh setiap masyarakat, meskipun secara umum masyarakat mengetahui aturan aturan atau hukum yang berlaku di negaranya (hukum positif), tetapi para praktisi hukum lah yang secara khusus dan rinci mengetahui mengenai hukum modern ini. Karena dibentuk oleh Negara ini tentunya menjadikan hukum ini bersifat formal, yang membedakannya dengan hukum kuno yang tidak bersifat formal.
Dengan analogi diatas maka dapat disimpulkan bahwasanya lahirnya sebuah Negara modern dpengaruhi oleh sebuah kekuatan social yang menentang sistem hukum eropa pada abad kedelapan belas, kekuatan social tersebut ialah kaum borjuis yang berusaha menghapuskan tatanan hukum yang fragmentaris dan mengubahnya dengan sebuah hukum yang umum, universal dan formal. Maka dari itu lahirlah sebuah hukum modern yang bersifat formal karena dibuat dan ditetapkan oleh Negara serta berlaku secara universal dan diketahui secara umum oleh warga negaranya. Dan dengan terbentuknya hukum modern ini maka diperlukan lah kajian sosiologi hukum yang yang diantaranya menganalisa tentang sebuah hukum yang berlaku didalam suatu masyarakat serta efektivitasny didalam masyarakat tersebut. Sehingga dengan kajian sosiologi hukum ini dapat diketahui bagaimana suatu hukum bekerja dalam masyarakat, sehingga seiring berjalannya waktu maka hukum ini akan semakin efektif karena selalu dikontrol, diteliti, dan dikaji pengaruh dan efektivitasnya didalam masyarakat dengan sosiologi hukum.




[1] Utsman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat Dilengkapi Proposal Penelitian Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013,  hlm 11
[2] Anwar, Yesmil dan Andang. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo. 2008. hlm 109
[3] Adi, Rianto. Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012, hlm 26
[4] Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1987, hlm 51
[5] Soelaeman, M Munandar. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm 30gi.
[6] Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm 22-24
[7] Negara modern sebagai personifikasi dari tata hukum merupakan bentuk penyederhanaan atau generalisasi yang dilakukan Hans Kelsen berdasarkan perspektif teori hukum murni, dimana negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum, yakni korporasi. Lihat dalam Hans Kelsen, 2010, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih bahasa oleh : Soemardi. Cet, III. (Bee Media Indonesia, Bandung), hlm 225.
[8] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,Hlm.43
[9] Ibid,hlm.43
[10] Gianfranco Poggi dalam satjipto rahardjo,sosiologi hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,hlm.44
[11] Karl Von Savigny dalam Roger Cotternell,Sosiologi Hukum (The Sociology of Law).hlm.65