BAB II
PEMBAHASAN
1.
Ijma’
Ulama
A.
Pengertian
Lafal Ijma’
menurut bahasa pengertiannya adalah ‘azm(Cita-Cita).Sedangkan menurut istilah
ahli ushul,Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid umat islam pada suatu masa
sesudah wafatnyta Rasulullah akan suatu hukum syari’ah mengenai perbuatan
tertentu dari mukallaf.
Pada dasarnya
Ijma’ ada 2 bentuk; Qauli dan Sukuti.Ijma’ Qauli adalah kebulatan pendapat
mujtahid yang berupa perkataan.Sedangkan Ijma’ Sukuti adalah kebulatan yang
dianggap ada apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui
mujtahid lain,Tetapi tidak menyatakan persetujuan maupun bantahannya.
B.
Kedudukan
Sebagai Sumber Hukum Islam
Ijma merupakan
sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat
dibawah dalil-dalil nash ( al-Quran dan Sunnah).Ijma’ merupakan dalil pertama
setelah Al Qur’an dan Sunnah,yang dapat dijadikan pedoman menggali hukum
syara’(Abu Zahrah,1994: 307)
Dalil
kehujjahan ijma sebagai sumber hukum islam ketiga adalah : A) Bahwasanya Allah
melalui Al-Qur’an telah memerintahkan orang orang yang beriman untuk
mentaati-Nya,Rasul-Nya,serta mentaati Ulil Amri diantara mereka.Ulil amri dalam
bidang syara’ yakni para mujtahid sepakat atas suatu hukum,maka wajib diikuti
dan dilaksanakan hukumnya berdasarkan nash Al-Qur’an. B) Bahwasanya hukum yang
disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat islam,pada dasarnya adalah hukum
islam yang disepakati para mujtahid mereka.C) Bahwasanya ijma’ atas hukum
syar’I haruslah disandarkan pada dalil yang syar’I,karena apabila ijma’
bersandarkan dalil dzanni,niscaya tercapai sebuah kesepakatan,karena dalil
dzanni merupakan lapangan bagi perbedaan pendapat akal secara pasti.
Secara
Realitas,Ijma’ sangat sulit terjadi pada masa sekarang.Ijma’ hakiki hanya
terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.Sekarang,Ijma’
hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai
tafsiran ayat-ayat hukum tertentu dalam Al Qur’an.
Oleh karena itu
terdapat beberapa keberatan terhadap sumber hukum ijma’ ini,yakni bahwa salah
satu unsur ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid.Kata Seluruh ini
menunjukkan kesepakatan bulat dan tanpa perbedaan.
Sebagaimana Imam
Syafi’I cenderung menolak terjadinya ijma’ dengan beberapa argumen yakni : A)
Para fuqaha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan,sehingga
mereka tidak mungkin dapat bertemu. B)Terjadinya perbedaan pendapat di antara
fuqaha yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Negara Negara Islam. C)
Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang orang orang yang diterima
ijma’nya.D) Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang criteria ulama yang
berhak untuk berpendapat dalam masalah masalah fiqih.
C.
Rukun
Ijma’
Menurut Abdul
Wahhab Khallaf,ada 4 rukun yang harus dipenuhi dalam ber ijma’
v Adanya
sejumlah mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa.Karena sebuah
kesepakatan tidak akan terbentuk kecuali ada beberapa pendapat yang saling
menyetujui satu sama lain(mufakat).Pada Zaman Rasulullah SAW tidak ada sebuah
ijma’,karena hanya Beliau sendiri lah mujtahid pada waktu itu
v Adanya
kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai
suatu kasus atau peristiwa tanpa memandang negeri,golongan,dan bangsa.Jika
hanya suatu golongan yang menentukan,maka secara syara’,hal tersebut tidak bisa
disebut sebagai ijma’.Karena ijma itu tidak bisa terjadi kecuali dengan
kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia islam.
v Kesepakatan
diantara mereka ini adalah dengan mengemukakan pendapat dari setiap mujtahid
tentang suatu masalah tertentu,setelah itu pendapat pendapat itu
dikumpulkan,barulah mereka mengemukakan pendapat secara kolektif.Misalnya para
mujtahid mengadakan sebuah konggres untuk menentukan hukum suatu
perkara,setelah mereka bertukar orientasi dan pandangan,dan bersepakatlah
mereka tentang hukum suatu perkara tersebut.
v Terealisasinya
kesepakatan dari seluruh mujtahid tentang hukum suatu perkara.Kalau sekiranya
kebanyakan dari mereka sepakat,maka kesepakatan terbanyak itu tetap belum
menjadi ijma’,walaupun sedikit sekali mujtahid yang menentang dan besar sekali
yang mendukung,karena sepanjang ada perbedaan pendapat maka masih ada kemungkinan
keraguan salah satu pihak dan kekeliruan oleh pihak lainnya.Oleh karena
itu,maka keputusan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyah yang pasti dan
mengikat
D.
Macam
Macam Ijma’
Ditinjau dari segi cara
terjadinya,maka ijma’ terdiri atas :
o Ijma’
Bayani,yakni para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas,baik
berupa ucapan atau tulisan.Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih,haqiqi,atau
qauli
o Ijma’
Sukuti,yaitu seluruh atau sebagian mujtahid tidak menyatakan pendapat mereka
dengan jelas dan tegas,tetapi mereka berdiam saja.
Ditinjau
dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’ dapat dibagi kepada
o Ijma’
Qath’I,yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ tersebut diyakini benar
terjadinya,tidak ada kemungkianan bahwa
hukum dari ijma’ tersebut berbeda dengan ijma’ yang dilakukan di waktu lain.
o Ijma’
Dhanni,yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni,masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan
hasil ijma’ pada waktu yang lain.
2.
Qiyas
A.
Pengertian
Qiyas menurut
bahasa adalah ukuran,artinya
perkara yang satu diukur dengan perkara lain yang memiliki
ukuran/persamaan.Sedangkan Menurut Istilah,qiyas adalah mempersamakan hukum
suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang
sudah ada ketentuan hukumnya,karena adanya segi-segi persamaan ‘illat antara
keduanya.
Penggunaan Qiyas
ini didasarkan pada kaidah kaidah asasi hukum,yaitu bahwa segala hukum harus
berdasar atas tujuan dan kemaslahatan,prinsip yang merupakan alasan dan sebab
adanya hukum.Atas dasar inilah maka digunakan qiyas suatu masalah yang belum
ada hukumnya dengan sesuatu yang sudah ditentukan hukumnya dalam nash,dengan
ini bisa dikenakan hukum yang sama,apabila diantara keduanya terdapat unsur
unsur alasan hukum yang sama.
Qiyas dapat
dibagi dari berbagai segi :1)pembagian Qiyas dari segi kekuatan ‘illat pada
furu’,2)pembagian Qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya,3)pembagian Qiyas dari
segi keserasian ‘illat dengat
hukum,4)pembagian Qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas
itu,5)pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam
furu’.
B.
Kedudukan
Sebagai Sumber Hukum Islam
Umat Islam
mengambil jalan Qiyas sebagai metode untuk menentukan hukum suatu perkara yang
tidak ditentukan hukumnya secara rinci berdasarkan nash(Al Qur’an dan Al
Hadits),namun mempunyai kesamaan dengan suatu perkara yang telah ditetapkan
hukumnya di dalam nash dari segi illat.Qiyas merupakan sumber hukum yang paling
banyak digunakan dalam menetapkan hukum hukum (fikih)
Beberapa
dalil yang dijadikan sebagai sandaran kehujjahan Qiyas adalah sebagai
berikut:A) QS An-Nisaa:59 B) QS Al-Hasyr:2 C) QS Yusuf:111.Ketiga ayat tersebut
berisi tentang perintah Allah yang memerintahkan kepada kaum mukminin agar
kembali kepada hukum yang telah ditetapkan dlam Nash(Al Qur’an dan Al-Hadits)
serta mengambil hikmah dari kejadian kejadian terdahulu yang telah disebutkan
dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW
C.
Rukun
Qiyas
Ada 4 Rukun Qiyas Yaitu :
· Ashal,yang
berarti pokok,yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash.Ashal disebut juga maqis ‘alaih(yang menjadi ukuran),musyabbah bih(tempat
menyerupakan),mahmul alaih(tempat membandingkan)
· Fara’,yang
berarti cabang,yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena
tidak ada nash yang dapat digunakan sebagai dasar.
· Hukum Ashal,yakni
hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang
akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan pada illatnya.
· ‘Illat,Yaitu
suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.Seandainya
sifat itu ada pula pada fara’,maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal
D.
Syarat-syarat qiyas
Syarat yang
harus dipenuhi sebuah Qiyas adalah,Hukum
asalnya tidak berubah-ubah,asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut
agama,artinya sudah ada ketegasan dalam al-Quran dan hadist,hukum yang berlaku pada ashal
berlaku pula qiyas,hukum asal dapat diperlakukan dalam qiyas. tidak boleh hukum
furu’ terdahulu (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan
hukum berdasarkan ‘illatnya (sebab).hendakalah sama ‘ilat pada furu dengan
‘illat pada hukum asal sama.
a.
Pembagian qiyas
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu,dibagi menjadi tiga :
1. Qiyas awlawi,yaitu
qiyas yang berlaku hukum furru’nya lebih kuat dari pemberlakuan hukum ashal
2. Qiyas musawi,yaitu
qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya dengan berlakunya hukum
ashal karena kekuatan’illatnya sama.
3.
Qiyas al-adwan,yaitu
qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan
berlakunya hukum pada ashal
b.
Pembagian qiyas
dari segi kejelasan ‘illatnya, ada dua yaitu:
1. Qiyas jali,yaitu
qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum
ashal, atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash.
2. Qiyas khafi,yaitu
qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c.
Pembagian dari segi
keserasian ‘illatnya dengan hukum
1. Qiyas muatsir,yaitu
qiyas yang ‘illatnya
penghubung antara ashal dan furru’ ditetapkan dengan nash yang shahih atau ijma
2. Qiyas mulam,yaitu
qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam
hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim
d.
Pembagian qiyas
dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu , ada tiga yaitu:
1.
Qiyas al-ma’na atau qiyas makna ashal,yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan
dalam qiyas namun antara ashal dan furu tidak dapat dibedakan,
2.
Qiyas ‘illat,yaitu
qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi
berlakunya hukum ashal
3.
Qiyas as-dilalah,
yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu
sendiri,namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan
adanya ‘illat.
e.
Pembagian qiyas
dari segi metode (musalik) yang digunakan dalam furu’, ada empat yaitu:
1.
Qiyas al-Ikhalah
2.
Qiyas asy-syabah
3.
Qiyas as-sabr
4.
Qiyas as- ath-thard
3.Urf
A.
Pengertian
Urf dari segi
bahasa,arti urf adalah mengetahui,sesuatu yang diketahui,dikenal,dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.Imam
Hanafi
mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang dikenal,dianggap baik dan diterima oleh
pikiran sehat.Secara Istilah,’Urf adalah kebiasaan kebanyakan orang dalam kata
kata dan perbuatannya.Sehingga
secara keseluruhan Urf bisa diartikan sebagai sesuatu yang telah dikenal oleh
orang banyak dalam bentuk muamalah yang telah menjadi tradisi atau adat
kebiasaan dan telah berlangsung ajeg di tengah masyarakat.
Berbeda dengan
Ijma’,Orientasi urf hanya terbatas pada masyarakat suatu daerah/wilayah yang
terikat secara konvensional.Sedangkan Ijma’ berorientasi khusus kepada para
fuqaha yang terdapat dalam suatu daerah,tanpa melibatkan masyarakat umum.
Tidak semua urf
dapat dijadikan sebagai sumber hukum.Maka dari itu urf dibedakan menjadi
2,yakni urf yang fsid dan urf shahih.
Urf yang shahih
adalah urf yang bisa diterima karena didalamnya tidak terdapat pertentangan
dengan nash.Urf ini wajib dipelihara
untuk pembentukan hukum dan dalam peradilan.
Sedangkan yang
kedua,‘Urf fasid,yaitu kebiasaan yang telah menjadi tradisi masyarakat yang
bertentangan dengan dalil syara’.Misalnya,kebiasaan dalam perjanjian yang
memungut riba
Kebiasaan
kebiasaan semacam itu mestinya dihilangkan setelah diketahui bertentangan
dengan syari’at islam.Keadaan tersebut hanya diizinkan dalam keadaan
darurat,sebagaimana sebuah kaidah ushul fiqh;”Keadaan terpaksa membolehkan hal
hal yang terlarang”.
B.
Kedudukan
Sebagai Sumber Hukum Islam
Untuk kedudukan
urf sebagai sumber hukum Islam,para Ulama telah menyatakan bahwa ‘urf merupakan
salah satu sumber dalam penggalian hukum,menetapkannya sebagai dalil sekiranya
tidak dikemukakan secaa rinci dalam nash.
Pensyarah kitab
al-Asybah wa an-Nadzhair menyatakan bahwa,”Diktum hukum yang ditetapkan
berdasarkan ‘urf sama dengan dictum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil
syar’I”
Sedangkan Imam
as-Sarkhasi dalam kitab al-Mabsudh berkata,”Apa yang ditetapkan berdasarkan urf
statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash”.
Telah banyak
imam yang mendasarkan hukumnya pada amal perbuatan penduduk madinah.Imam
Syafi’I ketika ia pindah ke Mesir,maka ia mengubah sebagian hukum yang pernah
menjadi pendapatnya ketika berada di Baghdad karena perbedaan ‘urf sehingga
dikenal dengan adanya pendapat yang lama dan pendapat yang baru.
Hukum yang
didasarkan pada’urf ini dapat berubah seiring perubahan zaman dan tempat.Namun
perbedaan ini tidak menjadikan perbedaan pada nash(pokok),melainkan hanya pada
furu’(cabang) nya saja.dari pernyataan pernyataan tersebut maka para ahli ushul
fiqh merumuskan sebuah kaidah; al-adat muhakkamat(adat kebiasaan itu merupakan
dasar dalam menetapkan hukum)
Maka dari
itu,dapat disimpulkan bahwa ‘urf ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
dalam penetapan hukum islam.Begitu juga urf ini dapat berubah seiring perubahan
waktu dan tempat,namun perubahan tersebut hanya dilakukan pada furu’ nya saja
tanpa mengubah pokok ddari hukum tersebut.meskipun diakui sebagai sumber hukum
islam,namun,‘urf yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam adalah urf
yang shahih,karena tidak bertentangan dengan dalil-dalil dalam nash.
Diantara yang
menyetujui Urf ini dijadikan sebagai sumber hukum islam adalah Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik
C.
Syarat
dan Tata Cara Pemakaian
Untuk menjadikan
‘Urf sebagai sumber hukum dalam penetapan hukum disyaratkan : 1)‘Urf tidak
bertentangan dengan nash yang qath’I,2)’Urf berlaku terus menerus atau
kebanyakan berlaku,3)’Urf yang dijadikan sebagai sumber hukum bagi suatu
tindakan sudah ada pada saat tindakan tersebut diadakan.
Contoh dari ‘Urf
adalah ketika mengadakan perjanjian tanpa ikrar yang jelas karena masing masing
pihak telah memberikan pengertiannya bahwa pihak yang satu mengikatkan dirinya
pada pihak lain dan telah menjadi tradisi dan kebiasaan yang tidak diragukan lagi.Contoh
dalam kehidupan sehari-hari : Ketika seseorang memarkir kendaraan di di suatu
tempat yang ada penjaga parkirnya,dan tanpa berikrar pemilik kendaraan tersebut
pergi,kemudian tatkala kembali,petugas parkir menghampirinya dan pemilik
kendaraan membayar biaya parker kepada tukang parker tersebut.Pemilik kendaraan
tidak dapat menolak membayar dengan alasan tidak adanya ikrar.Atau,kebiasaan
seorang laki laki yang akan melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu
sebagai hadiah,bukan sebagai mahar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijma’,Qiyas,dan
Urf,telah diakui oleh jumhur ulama sebagai sumber hukum islam yang dapat
dijadikan rujukan apabila suatu perkara tidak terdapat atau tidak dijelaskan
hukumnya secara rinci didalam Al Qur’an maupun Al Hadits.
Ijma’ mempunyai
pengertian sebagai kesepakatan para Mujtahid Islam dalam menentukan hukum suatu
perbuatan setelah wafatnya Rasulullah SAW.Ijma’ tersebut dibagi menjadi ijma’
sharih dan sukuti.Beberapa Ulama sepakat mengakui kedudukan ijma’ sebagai
sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits,namun ada juga yang
berpendapat,salah satunya Imam Syafi’i bahwa ijma’ ini sangat sulit dicapai
dikarenakan beberapa alasan seperti masalah geografis dan juga banyaknya
perbedaan pendapat diantara para mujtahid.Namun secara umum jumhur ulama
mengakui bahwa qiyas ini berkedudukan sebagai sumber hukum islam setelah
Al-Qur’an dan Al-Hadits
Qiyas mempunyai
pengertian mempersamakan suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan perkara
yang sudah ada hukumnya karena memiliki persamaan/illat.Dasar dari penggunaan
qiyas ini sebagai sumber hukum islam salah satunya adalah QS An-Nisaa:59 yang
berisi tentang perintah Allah untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits
apabila terjadi perbedaan pendapat tentang hukum suatu perkara,Ada 4 unsur yang
harus dipenuhi dalam melakukan qiyas,yakni adanya Hukum Ashal,Hukum Furru’
,Illat,dan menghasilkan hukum dari Qiyas tersebut.Qiyas ini adalah metode yang
paling sering digunakan oleh para Ahli Fiqih dalam menentukan Hukum suatu
perkara.
Yang
terakhir,Urf mempunyai arti budaya yang ada dalam masyarakat.Urf ini sendiri
dibagi menjadi 2,yaitu Urf Shahih dan Urf Fasid.Urf yang dibolehkan untuk
dijadikan sumber hukum islam adalah Urf yang Shahih dikarenakan urf tersebut
tidak bertentangan dengan syar’I,sedangkan urf fasid yang bertentangan dengan
syar’I tidak diizinkan dan seharusnya dihapuskan dari kebudayaan masyarakat
karena sudah jelas bertentangan dengan syar’i.Para Ulama sudah sepakat bahwa
Urf ini penting dan harus diperhatikan dalam penentuan hukum serta mampu
menjadi sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits
Meskipun
ketiganya telah diakui sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan
Al-Hadits,namun dalam penggunaanya Setiap Ulama mempunyai pandangan yang
berbeda,tidak seperti Al Qur’an dan Al Hadits yang sudah jelas Seluruh Umat
Islam mengakuinya sebagai Sumber Hukum yang pasti.Namun kembali ke
fungsinya,bahwa baik Ijma’,Qiyas,dan Urf berfungsi untuk menentukan hukum bagi
Perkara perkara yang dalam Al Qur’an dan Al Hadits tidak disebutkan hukumnya
atau tidak dijelaskan secara rinci.
Daftar Pustaka