Wednesday, December 24, 2014

Sumber Hukum Islam : jma',iyas,Urf



BAB II
PEMBAHASAN
1.     Ijma’ Ulama

A.   Pengertian
Lafal Ijma’ menurut bahasa pengertiannya adalah ‘azm(Cita-Cita).Sedangkan menurut istilah ahli ushul,Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid umat islam pada suatu masa sesudah wafatnyta Rasulullah akan suatu hukum syari’ah mengenai perbuatan tertentu  dari mukallaf.[1]
Pada dasarnya Ijma’ ada 2 bentuk; Qauli dan Sukuti.Ijma’ Qauli adalah kebulatan pendapat mujtahid yang berupa perkataan.Sedangkan Ijma’ Sukuti adalah kebulatan yang dianggap ada apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui mujtahid lain,Tetapi tidak menyatakan persetujuan maupun bantahannya.

B.   Kedudukan Sebagai Sumber Hukum Islam
Ijma merupakan sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash ( al-Quran dan Sunnah).Ijma’ merupakan dalil pertama setelah Al Qur’an dan Sunnah,yang dapat dijadikan pedoman menggali hukum syara’(Abu Zahrah,1994: 307)
Dalil kehujjahan ijma sebagai sumber hukum islam ketiga adalah : A) Bahwasanya Allah melalui Al-Qur’an telah memerintahkan orang orang yang beriman untuk mentaati-Nya,Rasul-Nya,serta mentaati Ulil Amri diantara mereka.Ulil amri dalam bidang syara’ yakni para mujtahid sepakat atas suatu hukum,maka wajib diikuti dan dilaksanakan hukumnya berdasarkan nash Al-Qur’an. B) Bahwasanya hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat islam,pada dasarnya adalah hukum islam yang disepakati para mujtahid mereka.C) Bahwasanya ijma’ atas hukum syar’I haruslah disandarkan pada dalil yang syar’I,karena apabila ijma’ bersandarkan dalil dzanni,niscaya tercapai sebuah kesepakatan,karena dalil dzanni merupakan lapangan bagi perbedaan pendapat akal secara pasti.[2]
Secara Realitas,Ijma’ sangat sulit terjadi pada masa sekarang.Ijma’ hakiki hanya terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.Sekarang,Ijma’ hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat hukum tertentu dalam Al Qur’an.[3]
Oleh karena itu terdapat beberapa keberatan terhadap sumber hukum ijma’ ini,yakni bahwa salah satu unsur ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid.Kata Seluruh ini menunjukkan kesepakatan bulat dan tanpa perbedaan.
Sebagaimana Imam Syafi’I cenderung menolak terjadinya ijma’ dengan beberapa argumen yakni : A) Para fuqaha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan,sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu. B)Terjadinya perbedaan pendapat di antara fuqaha yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Negara Negara Islam. C) Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang orang orang yang diterima ijma’nya.D) Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang criteria ulama yang berhak untuk berpendapat dalam masalah masalah fiqih.

C.   Rukun Ijma’
Menurut Abdul Wahhab Khallaf,ada 4 rukun yang harus dipenuhi dalam ber ijma’
v  Adanya sejumlah mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa.Karena sebuah kesepakatan tidak akan terbentuk kecuali ada beberapa pendapat yang saling menyetujui satu sama lain(mufakat).Pada Zaman Rasulullah SAW tidak ada sebuah ijma’,karena hanya Beliau sendiri lah mujtahid pada waktu itu
v  Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus atau peristiwa tanpa memandang negeri,golongan,dan bangsa.Jika hanya suatu golongan yang menentukan,maka secara syara’,hal tersebut tidak bisa disebut sebagai ijma’.Karena ijma itu tidak bisa terjadi kecuali dengan kesepakatan umum dari semua mujtahid dunia islam.
v  Kesepakatan diantara mereka ini adalah dengan mengemukakan pendapat dari setiap mujtahid tentang suatu masalah tertentu,setelah itu pendapat pendapat itu dikumpulkan,barulah mereka mengemukakan pendapat secara kolektif.Misalnya para mujtahid mengadakan sebuah konggres untuk menentukan hukum suatu perkara,setelah mereka bertukar orientasi dan pandangan,dan bersepakatlah mereka tentang hukum suatu perkara tersebut.
v  Terealisasinya kesepakatan dari seluruh mujtahid tentang hukum suatu perkara.Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat,maka kesepakatan terbanyak itu tetap belum menjadi ijma’,walaupun sedikit sekali mujtahid yang menentang dan besar sekali yang mendukung,karena sepanjang ada perbedaan pendapat maka masih ada kemungkinan keraguan salah satu pihak dan kekeliruan oleh pihak lainnya.Oleh karena itu,maka keputusan mayoritas itu tidak menjadi hujjah syar’iyah yang pasti dan mengikat

D.   Macam Macam Ijma’
Ditinjau dari segi cara terjadinya,maka ijma’ terdiri atas :
o   Ijma’ Bayani,yakni para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas,baik berupa ucapan atau tulisan.Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih,haqiqi,atau qauli
o   Ijma’ Sukuti,yaitu seluruh atau sebagian mujtahid tidak menyatakan pendapat mereka dengan jelas dan tegas,tetapi mereka berdiam saja.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’ dapat dibagi kepada
o   Ijma’ Qath’I,yaitu hukum yang dihasilkan dari ijma’ tersebut diyakini benar terjadinya,tidak  ada kemungkianan bahwa hukum dari ijma’ tersebut berbeda dengan ijma’ yang dilakukan di waktu lain.
o   Ijma’ Dhanni,yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dhanni,masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ pada waktu yang lain.
2.     Qiyas

A.   Pengertian
Qiyas menurut bahasa adalah ukuran[4],artinya perkara yang satu diukur dengan perkara lain yang memiliki ukuran/persamaan.Sedangkan Menurut Istilah,qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya,karena adanya segi-segi persamaan ‘illat antara keduanya.[5]
Penggunaan Qiyas ini didasarkan pada kaidah kaidah asasi hukum,yaitu bahwa segala hukum harus berdasar atas tujuan dan kemaslahatan,prinsip yang merupakan alasan dan sebab adanya hukum.Atas dasar inilah maka digunakan qiyas suatu masalah yang belum ada hukumnya dengan sesuatu yang sudah ditentukan hukumnya dalam nash,dengan ini bisa dikenakan hukum yang sama,apabila diantara keduanya terdapat unsur unsur alasan hukum yang sama.
Qiyas dapat dibagi dari berbagai segi :1)pembagian Qiyas dari segi kekuatan ‘illat pada furu’,2)pembagian Qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya,3)pembagian Qiyas dari segi keserasian  ‘illat dengat hukum,4)pembagian Qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu,5)pembagian qiyas dari segi metode yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’.[6]

B.   Kedudukan Sebagai Sumber Hukum Islam
Umat Islam mengambil jalan Qiyas sebagai metode untuk menentukan hukum suatu perkara yang tidak ditentukan hukumnya secara rinci berdasarkan nash(Al Qur’an dan Al Hadits),namun mempunyai kesamaan dengan suatu perkara yang telah ditetapkan hukumnya di dalam nash dari segi illat.Qiyas merupakan sumber hukum yang paling banyak digunakan dalam menetapkan hukum hukum (fikih)

Beberapa dalil yang dijadikan sebagai sandaran kehujjahan Qiyas adalah sebagai berikut:A) QS An-Nisaa:59 B) QS Al-Hasyr:2 C) QS Yusuf:111.Ketiga ayat tersebut berisi tentang perintah Allah yang memerintahkan kepada kaum mukminin agar kembali kepada hukum yang telah ditetapkan dlam Nash(Al Qur’an dan Al-Hadits) serta mengambil hikmah dari kejadian kejadian terdahulu yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW

C.   Rukun Qiyas
Ada 4 Rukun Qiyas Yaitu[7] :
·  Ashal,yang berarti pokok,yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.Ashal disebut juga maqis ‘alaih(yang menjadi ukuran),musyabbah bih(tempat menyerupakan),mahmul alaih(tempat membandingkan)
·  Fara’,yang berarti cabang,yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat digunakan sebagai dasar.
·  Hukum Ashal,yakni hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan pada illatnya.
·  ‘Illat,Yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.Seandainya sifat itu ada pula pada fara’,maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal

D.   Syarat-syarat qiyas
Syarat yang harus dipenuhi sebuah Qiyas adalah,Hukum asalnya tidak berubah-ubah,asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama,artinya sudah ada ketegasan dalam al-Quran  dan hadist,hukum yang berlaku pada ashal berlaku pula qiyas,hukum asal dapat diperlakukan dalam qiyas. tidak boleh hukum furu’ terdahulu (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan ‘illatnya (sebab).hendakalah sama ‘ilat pada furu dengan ‘illat pada hukum asal sama.[8]
Pembagian qiyas[9]
a.       Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu,dibagi menjadi tiga :
1.   Qiyas awlawi,yaitu qiyas yang berlaku hukum furru’nya lebih kuat dari pemberlakuan hukum ashal
2.  Qiyas musawi,yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadaannya dengan berlakunya hukum ashal karena kekuatan’illatnya sama.
3.      Qiyas al-adwan,yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal
b.      Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illatnya, ada dua yaitu:
1.   Qiyas jali,yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal, atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash.
2.    Qiyas khafi,yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c.       Pembagian dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum
1.      Qiyas muatsir,yaitu  qiyas yang ‘illatnya penghubung antara ashal dan furru’ ditetapkan dengan nash yang shahih atau ijma
2.   Qiyas mulam,yaitu qiyas yang ‘illat hukum  ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim
d.      Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu , ada tiga yaitu:
1.      Qiyas al-ma’na atau qiyas makna ashal,yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dan furu tidak dapat dibedakan,
2.      Qiyas ‘illat,yaitu qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal
3.      Qiyas as-dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri,namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat.
e.       Pembagian qiyas dari segi metode (musalik) yang digunakan dalam furu’, ada empat yaitu:
1.      Qiyas al-Ikhalah
2.      Qiyas asy-syabah
3.      Qiyas as-sabr
4.      Qiyas as- ath-thard
3.Urf
A.   Pengertian
Urf dari segi bahasa,arti urf adalah mengetahui,sesuatu yang diketahui,dikenal,dianggap  baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.Imam   Hanafi mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang dikenal,dianggap baik dan diterima oleh pikiran sehat.Secara Istilah,’Urf adalah kebiasaan kebanyakan orang dalam kata kata dan perbuatannya.[10]Sehingga secara keseluruhan Urf bisa diartikan sebagai sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dalam bentuk muamalah yang telah menjadi tradisi atau adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg di tengah masyarakat.
Berbeda dengan Ijma’,Orientasi urf hanya terbatas pada masyarakat suatu daerah/wilayah yang terikat secara konvensional.Sedangkan Ijma’ berorientasi khusus kepada para fuqaha yang terdapat dalam suatu daerah,tanpa melibatkan masyarakat umum.
Tidak semua urf dapat dijadikan sebagai sumber hukum.Maka dari itu urf dibedakan menjadi 2,yakni urf yang fsid dan urf shahih.
Urf yang shahih adalah urf yang bisa diterima karena didalamnya tidak terdapat pertentangan dengan nash.Urf  ini wajib dipelihara untuk pembentukan hukum dan dalam peradilan.
Sedangkan yang kedua,‘Urf fasid,yaitu kebiasaan yang telah menjadi tradisi masyarakat yang bertentangan dengan dalil syara’.Misalnya,kebiasaan dalam perjanjian yang memungut riba[11]
Kebiasaan kebiasaan semacam itu mestinya dihilangkan setelah diketahui bertentangan dengan syari’at islam.Keadaan tersebut hanya diizinkan dalam keadaan darurat,sebagaimana sebuah kaidah ushul fiqh;”Keadaan terpaksa membolehkan hal hal yang terlarang”.

B.   Kedudukan Sebagai Sumber Hukum Islam
Untuk kedudukan urf sebagai sumber hukum Islam,para Ulama telah menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu sumber dalam penggalian hukum,menetapkannya sebagai dalil sekiranya tidak dikemukakan secaa rinci dalam nash.
Pensyarah kitab al-Asybah wa an-Nadzhair menyatakan bahwa,”Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan dictum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’I”
Sedangkan Imam as-Sarkhasi dalam kitab al-Mabsudh berkata,”Apa yang ditetapkan berdasarkan urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash”.
Telah banyak imam yang mendasarkan hukumnya pada amal perbuatan penduduk madinah.Imam Syafi’I ketika ia pindah ke Mesir,maka ia mengubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika berada di Baghdad karena perbedaan ‘urf sehingga dikenal dengan adanya pendapat yang lama dan pendapat yang baru.
Hukum yang didasarkan pada’urf ini dapat berubah seiring perubahan zaman dan tempat.Namun perbedaan ini tidak menjadikan perbedaan pada nash(pokok),melainkan hanya pada furu’(cabang) nya saja.dari pernyataan pernyataan tersebut maka para ahli ushul fiqh merumuskan sebuah kaidah; al-adat muhakkamat(adat kebiasaan itu merupakan dasar dalam menetapkan hukum)
Maka dari itu,dapat disimpulkan bahwa ‘urf ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum islam.Begitu juga urf ini dapat berubah seiring perubahan waktu dan tempat,namun perubahan tersebut hanya dilakukan pada furu’ nya saja tanpa mengubah pokok ddari hukum tersebut.meskipun diakui sebagai sumber hukum islam,namun,‘urf yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum islam adalah urf yang shahih,karena tidak bertentangan dengan dalil-dalil dalam nash.
Diantara yang menyetujui Urf ini dijadikan sebagai sumber hukum islam adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik

C.   Syarat dan Tata Cara Pemakaian
Untuk menjadikan ‘Urf sebagai sumber hukum dalam penetapan hukum disyaratkan : 1)‘Urf tidak bertentangan dengan nash yang qath’I,2)’Urf berlaku terus menerus atau kebanyakan berlaku,3)’Urf yang dijadikan sebagai sumber hukum bagi suatu tindakan sudah ada pada saat tindakan tersebut diadakan.
Contoh dari ‘Urf adalah ketika mengadakan perjanjian tanpa ikrar yang jelas karena masing masing pihak telah memberikan pengertiannya bahwa pihak yang satu mengikatkan dirinya pada pihak lain dan telah menjadi tradisi dan kebiasaan yang tidak diragukan lagi.Contoh dalam kehidupan sehari-hari : Ketika seseorang memarkir kendaraan di di suatu tempat yang ada penjaga parkirnya,dan tanpa berikrar pemilik kendaraan tersebut pergi,kemudian tatkala kembali,petugas parkir menghampirinya dan pemilik kendaraan membayar biaya parker kepada tukang parker tersebut.Pemilik kendaraan tidak dapat menolak membayar dengan alasan tidak adanya ikrar.Atau,kebiasaan seorang laki laki yang akan melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah,bukan sebagai mahar.  

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Ijma’,Qiyas,dan Urf,telah diakui oleh jumhur ulama sebagai sumber hukum islam yang dapat dijadikan rujukan apabila suatu perkara tidak terdapat atau tidak dijelaskan hukumnya secara rinci didalam Al Qur’an maupun Al Hadits.
Ijma’ mempunyai pengertian sebagai kesepakatan para Mujtahid Islam dalam menentukan hukum suatu perbuatan setelah wafatnya Rasulullah SAW.Ijma’ tersebut dibagi menjadi ijma’ sharih dan sukuti.Beberapa Ulama sepakat mengakui kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits,namun ada juga yang berpendapat,salah satunya Imam Syafi’i bahwa ijma’ ini sangat sulit dicapai dikarenakan beberapa alasan seperti masalah geografis dan juga banyaknya perbedaan pendapat diantara para mujtahid.Namun secara umum jumhur ulama mengakui bahwa qiyas ini berkedudukan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits
Qiyas mempunyai pengertian mempersamakan suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan perkara yang sudah ada hukumnya karena memiliki persamaan/illat.Dasar dari penggunaan qiyas ini sebagai sumber hukum islam salah satunya adalah QS An-Nisaa:59 yang berisi tentang perintah Allah untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits apabila terjadi perbedaan pendapat tentang hukum suatu perkara,Ada 4 unsur yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas,yakni adanya Hukum Ashal,Hukum Furru’ ,Illat,dan menghasilkan hukum dari Qiyas tersebut.Qiyas ini adalah metode yang paling sering digunakan oleh para Ahli Fiqih dalam menentukan Hukum suatu perkara.
Yang terakhir,Urf mempunyai arti budaya yang ada dalam masyarakat.Urf ini sendiri dibagi menjadi 2,yaitu Urf Shahih dan Urf Fasid.Urf yang dibolehkan untuk dijadikan sumber hukum islam adalah Urf yang Shahih dikarenakan urf tersebut tidak bertentangan dengan syar’I,sedangkan urf fasid yang bertentangan dengan syar’I tidak diizinkan dan seharusnya dihapuskan dari kebudayaan masyarakat karena sudah jelas bertentangan dengan syar’i.Para Ulama sudah sepakat bahwa Urf ini penting dan harus diperhatikan dalam penentuan hukum serta mampu menjadi sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits
Meskipun ketiganya telah diakui sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits,namun dalam penggunaanya Setiap Ulama mempunyai pandangan yang berbeda,tidak seperti Al Qur’an dan Al Hadits yang sudah jelas Seluruh Umat Islam mengakuinya sebagai Sumber Hukum yang pasti.Namun kembali ke fungsinya,bahwa baik Ijma’,Qiyas,dan Urf berfungsi untuk menentukan hukum bagi Perkara perkara yang dalam Al Qur’an dan Al Hadits tidak disebutkan hukumnya atau tidak dijelaskan secara rinci.
  
Daftar Pustaka
1.      Bakry,Nazar(1994),fiqh dan ushul fiqh,Jakarta:Raja Grafindo Persada
2.      Aibak,Khutbuddin(2008),metodologi pembaruan hukum islam,Yogyakarta:Pustaka Pelajar
3.      Ghofur Anshori,Abdul;Harahab,Yulkarnain(2008).Hukum Islam:Dinamika dan perkembangannya di Indonesia.Yogyakarta:Kreasi Total Media
4.      Naim,Ngainun(2009).Sejarah Pemikiran Hukum Islam:Sebuah Pengantar.Yogyakarta:Teras
5.      Kemal,Muchtar(1995).Ushul Fiqh.Yogyakarta:Dana Bakti Wakaf
6.      Shiddiqie,Muhammad  Hasbi Ash(1953).Kelengkapan dasar dasar fiqih Islam:Pengantar ushul fiqih.Medan:Islamyah




[1] Hukum Islam dinamika dan perkembangannya di indonesia
[2] Abdul Wahhab Khallaf dalam Abdul Ghofur Anshori,Hukum Islam:Dinamika perkembangannya di Indonesia,hlm 161-163
[3] M. Rasjidi,”Kesatuan dan Keragaman Dalam Islam”,dalam Ngainun Naim,Sejarah Pemikiran Hukum Islam Sebuah Pengantar,(Yogyakarta : TERAS,2009),h.36
[4] Hafidz Abdurrahman dalam Abdul Ghofur Anshori,Hukum Islam:Dinamika perkembangannya di Indonesia,hlm 167
[5] A. Hanafi,”Pengantar dan Serjarah Hukum islam”,(Jakarta: Bulan Bintang,1984),h.63 dlm h.36
[6]Hafidz Abdurrahman dalam Abdul Ghofur Anshori,Hukum Islam:Dinamika perkembangannya di Indonesia
[7] Ushul Fiqh jilid 1,Kemal Muchtar,hlm.118
[8] Nazar Bakry,fiqh dan ushul fiqh,hlm 48.
[9] Khutbuddin Aibak,metodologi pembaruan hukum islam,hlm 145.
[10] Yahya dan Fatkurrahman,Dasar-dasar,h.83
[11] Ibid,h.110

0 comments:

Post a Comment